Bagian 21 • Rania

9.4K 992 21
                                    

Orang bilang jangan terlalu menggebu-gebu dalam memvisualisasikan emosi. Entah itu emosi bahagia, sedih, kecewa, maupun sebagainya.

Semua yang berlebihan itu pada dasarnya tidak baik. So, cobalan untuk atur perasaan agar emosi yang ditujukkan bisa lebih terkontrol dan dapat dikendalikan dengan baik.

"Bodo banget sih Ra......"

"Kenapa lo bisa seterus terang itu sama Mas Biru!"

"Kenapa lo jadi wanita berani banget astaga..."

"Mau di taro dimana wajah lo besok kalo ketemu orangnya?"

Aku memukul-mukul bantal karena merasa malu. Sedari masuk ke kamar satu jam lalu, aku terus saja menyalahkan diriku sendiri atas kejadian di dalam mobil Mas Biru yang kami berdua alami.

Kenapa dengan bodohnya aku membahas soal kakaknya yang aku kira sebagai kekasihnya?
Kenapa aku keceplosan kalo dia ganteng?
Kenapa aku nggak malu mengakui jika aku sudah tertarik padanya ketika kita bahkan belum berkenalan?

Berbagai pertanyaan yang tidak aku ketahui jawabannya berseliweran di dalam otak kecilku.

Astaga, Ra!

Kini aku membanting bantal yang sedari tadi aku pukul karena terlalu geregetan dengan diriku sendiri. Aku benar-benar ingin menghilang dan tidak menemui Mas Biru untuk sementara waktu.

Aku mengambil napas banyak-banyak, lalu menghembuskan nya secara perlahan. Kemudian ingatanku kembali melayang ke kejadian sore tadi dimana semua ini kekacauan ini berasal.

"Dia saudara kandung gue, Ra." Jantungku hampir berhenti bekerja karena mendengar ucapannya itu.

Kenapa aku bisa gegabah gini ya Allah?
Kenapa aku bisa begitu saja menyimpulkan bahwa perempuan yang datang ke acara pernikahannya Mbak Sania itu adalah pacarnya?

"Oh!" Akhirnya hanya satu kata itu yang keluar dari mulutku untuk meresponnya.

Aku benar-benar merasa bingung, malu dan juga lega sekaligus. Perasaanku menjadi nano-nano hanya karena mengetahui sebuah fakta bahwa Sabiru memiliki kakak perempuan yang sudah aku salah pahami selama ini.

"Jadi lo udah merhatiin gue sejak dulu ya?" Mas Biru mencondongkan tubuhnya ke arahku.

Sial!
Seat belt yang sedang aku gunakan benar-benar tidak menguntungkan. Aku tidak bisa melakukan apapun, even untuk memalingkan wajah sekali pun. Entah karena terlalu merasa kaget, atau merasa sayang untuk mengabaikan wajahnya yang tampan dari dekat.

"Mas, mundur." Akhirnya aku mengatakan padanya untuk jangan terlalu mendekat karena aku benar-benar merasa grogi.

"Kenapa, hm?"

"Gue nggak bisa napas, Mas."

"Ha? Kenapa, Ra? lo nggak papa? dada lo sesak?" tiba-tiba Mas Biru justru heboh sendiri.

"Gue nggak papa, Mas. Cuma lo terlalu deket nyampe gue harus tahan napas."

Mas Biru memundurkan tubuhnya dan menghela napas lega. "Ya ampun, Ra. Gue kira kenapa."

Aku mengambil napas banyak-banyak sebelum merespon ucapannya barusan. "Iya, Mas. Gue udah interest sama lo sejak sebelum kita kenalan."

Mas Biru langsung menoleh ke arahku. Wajahnya kelihatan kaget, sebelum kemudian menyunggingkan senyum manisnya.

Oke, tolong jangan men-judge aku karena apa yang aku lakukan barusan. Sudah aku katakan bukan jika aku adalah tipe yang tidak suka menyimpan perasaan dan selalu suka berterus terang?

"Gue juga, Ra."

Kini giliran ku yang kaget. "Maksudnya?"

"Lo ingat cowok yang lo tabrak pas baru shoot video perspektif?"

Aku mencoba membawa ingatanku ke kejadian yang dimaksudkan oleh Mas Biru. "Enggak, Mas."

"Kita ketemu di studionya Mas Dewa?" aku bertanya karena seingat ku aku tidak melihatnya diantara anggota timnya Mas Dewa.

"Iya, tapi gue baru dateng pas lo udah mau kelar. Jadi mungkin lo nggak notice kalo ada gue di situ."

"Masa sih, Mas? biasanya mata gue jeli banget padahal kalo ada orang ganteng." Aku menoleh ke arahnya dan mengamati baik-baik wajahnya. Untuk ukuran orang setampan Mas Biru, agaknya lumayan sulit untuk tidak menyadari keberadaannya.

"Jadi menurut lo gue ganteng?"

Aku mengangguk tanpa keraguan sama sekali. "Iya."

Kulihat pipi Mas Biru berubah menjadi sedikit kemerahan. Astaga lucunya, batinku yang tidak ku suarakan.

Uh! Uh!
Mas Biru batuk entah sungguhan atau karena kaget mendengar ke terus terangan ku sebelumnya.

"Lo bener-bener perempuan paling berani yang pernah gue kenal, Ra."

Aku tertawa menanggapi omongannya. "Gue harus bener-bener to the point untuk soal-soal krusial yang kaya ginian, Mas."

"Gue bakal langsung ngomong A ataupun B kalo itu emang yang gue rasain."

"Termasuk bilang di depan cowok langsung kalo dia good looking atau enggak?"

Aku mengangguk. "Yap. Bahkan buat ngomong suka atau nggak suka, gue bakalan seterus terang gitu juga, Mas."

"I know that some how bakalan nyakitin atau bikin kaget orang yang gue ajak ngobrol. But in that case, i'm sure that it more better than anything."

"Gue nggak mau bikin orang berekspektasi yang ujungnya cuma bikin kecewa. Berharap terlalu banyak sama gue, padahal sikap baik gue sebenernya cuma gue lakuin biar nggak menyakiti dia aja."

Mas Biru mengangguk-angguk mendengar penuturanku. "Jadi?"

Aku mengernyitkan dahi. "Jadi?"

"Jadi lo terima ajakan gue buat nge-date, nggak?" dia justru melontarkan kalimat awal yang aku kira tidak akan diucapkannya lagi.

Aku tersenyum dan mengangguk. "Yes, i prove it."

Kesempatan emas nggak selalu datang dua kali, Ra
Batinku untuk diriku sendiri

Jangan lupa komen ya!
Aku tunggu 😁

JejaringTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang