Bagian 30 • Rania

8.3K 866 47
                                    

Double up buat hari ini, yeay!
Jangan lupa buat komen ya, xixi

***

"Kangen!" Aku melemparkan diriku ke dalam pelukannya.

Kurasakan dia terkekeh pelan, lalu mengusap-usap rambut panjang ku yang aku tebak masih menguarkan aroma apel.

"Baru keramas ya?  wangi banget!" Balasnya sembari mencium pelan ujung kepalaku.

Aku tersenyum, lalu melepaskan pelukan dan mengangguk pelan. "Iya."

"Bau apelnya masih ke cium nggak, Mas?" tanyaku dengan mendongak dan melihat ke arahnya.

Mas Biru yang berdiri di depanku mengangguk. "Masih. Candu banget baunya. Sini coba aku cek lagi!" Jawabnya sembari menarik ku kembali ke dalam pelukannya.

Ya ampun bunda...
Selamatkan aku sekarang!

"Udah ih Mas, malu." Aku mencoba melepaskan pelukan karena saat ini kami sedang berada di depan pintu rumah.

Meski di rumah sedang tidak ada seorang pun, aku tetap saja merasa malu jika-jika ada tetangga yang lewat dan melihat perbuatan kami.

"Mas, lepas dulu ih." Aku kembali memintanya untuk melepaskan pelukan.

Beberapa hari ini aku memang tidak bertemu dengan Mas Biru. Selepas menjadi fotografer denganku, tiba-tiba dia dikabari oleh kakaknya jika neneknya yang tinggal di Surabaya sakit dan keluarganya akan datang untuk mengunjunginya.  Akhirnya tepat setelah mengantarku pulang, dia juga bergegas pamit untuk pulang ke rumahnya. Dia juga terpaksa tidak mengikuti rapat perdana tim charity, karena harus berangkat ke Surabaya tepat sehari sebelum rapat itu benar-benar terjadi.

Mas Biru akhirnya mau melepaskan pelukan dengan tidak rela. "Di rumah bukannya nggak ada orang, Ra?" tanyanya sembari menaik turunkan alis.

Semenjak kami berpacaran, sikap Mas Biru memang berubah seratus delapan puluh derajat dibandingkan sebelumnya. Dia menjadi lebih jahil dan sering menggodaku setiap kali kami bertemu.

"Aw!" Aku mencubit pelan perutnya karena dia yang berani meledekku.

Apa maksudnya coba menanyakan jika di rumah tidak ada orang dan menaik turunkan alisnya seperti itu?

"Oke oke minta maaf." Ucapnya sembari mudur selangkah dan mengangkat kedua tangan pertanda menyerah.

Aku mendengkus, lalu mengerucutkan bibir dan mencebik kesal. "Iseng banget sih!"

"Mau masuk nggak?" akhirnya aku tetap menawarinya masuk rumah.

Meski pernyataannya barusan sedikit ambigu, tapi aku tau pasti bahwa dia hanya bercanda. Selama ini dia tidak pernah melakukan hal-hal di luar batas kewajaran padaku, dan aku juga yakin bahwa dia adalah laki-laki baik dan calon imam rumah tangga yang banyak di impikan oleh para wanita.

Ku lihat Mas Biru menggeleng. "Di sini aja ya, lagian aku juga rencananya mau ngajak kamu keluar buat nyari makan." 

Aku menilik jam di pergelangan tanganku yang menunjukkan hampir pukul jam setengah tiga sore. "Mas belum makan?"

Lagi-lagi dia menggeleng. "Belum. Tadi baru nyampe rumah langsung otw ke sini." Jelasnya padaku.

"Ya ampun, Mas. Kenapa malah langsung ke sini kalo baru aja pulang?" tanyaku karena tidak habis pikir dengan laki-laki di depan ini.

Bukannya makan dan istirahat karena baru saja pulang dari luar kota, dia malah langsung otw ke sini seperti ini. Daripada mengunjungi ku, bukankah lebih baik dia tidur saja di rumah?

"Udah kangen banget." Jawabnya begitu enteng.

Aku menggeleng-geleng kan kepala karena tidak habis pikir dengan pemikirannya. Bisa-bisa hanya karena alasan kangen, dia malah mengabaikan fisiknya sendiri seperti sekarang.

"Kan bisa video call, Mas. Nggak perlu maksain diri gini. Nanti kalo sakit gimana coba?" aku memarahinya yang bersikap ceroboh.

Bukannya tidak senang dia sangat mengunjungi ku, aku hanya tidak ingin dan tidak mau jika hanya karena hal semacam ini dia justru bisa jatuh sakit.

"Kurang puas kalo cuma vidcall, Ra. Lagian aku nggak capek kok." Dia masih saja ngeles atas apa yang aku ucapkan barusan.

Aku hanya mengerucutkan bibir mendengar penuturannya. "Ya udah. Mas duduk dulu sini, aku siap-siap dulu sebentar." Akhirnya aku memberitahunya untuk duduk di kursi depan rumah selagi menungguku masuk dan bersiap-siap.

Sebenarnya jika aku bisa memasak, tentu aku akan mengajaknya makan di rumah saja. Tapi karena kemampuan memasak ku yang big zero, maka yang bisa aku lakukan hanya menemaninya untuk mencari makan di luar.

Mas Biru tertawa melihat seberapa cerewetnya aku. Dia mengacak-ngacak rambutku gemas, lalu membalikkan tubuhku untuk masuk rumah sembari berkata, "Ya udah sana, ganti baju sama dandan yang cantik. Aku tungguin di sini."

Meleleh aku, Mas.
Batinku atas segala sikap dan perilakunya.

***

"Ayo, Mas!" Aku mengajak Mas Biru yang sedang menunduk memainkan ponselnya.

Sepertinya dia sedang bermain game online bersama teman-temannya, sehingga tidak sadar jika aku sudah berada beberapa langkah dari tempatnya duduk.

Mas Biru menoleh ke arahku, lalu mengatakan pada teman-temannya bahwa dia akan berhenti karena ada acara.

"Udah?" tanyanya sembari berjalan ke arahku.

Aku mengangguk, lalu memberikannya sebuah masker karena dia yang sepertinya lupa tidak membawa masker.

"Oh iya, lupa nggak bawa, Ra." Ucapnya sembari cengengesan.

"Makasih ya." Aku mengangguk untuk ucapan terima kasihnya.

Ku lihat Mas Biru menggunakan masker yang aku pakai, lalu mengajakku untuk berjalan keluar.

"Sebentar, Mas. Aku kunci pintu dulu ya." Aku kembali ke depan pintu dan mengunci pintu depan.

"Ayo, Mas." Kini giliran ku yang mengajaknya untuk keluar.

"Sebentar, Ra." Aku menoleh dan mendapatinya yang masih berdiri dan belum beranjak sedikit pun.

"Kenapa, Mas?" aku mengerutkan dahi untuk menanyakan kenapa dia memintaku untuk berhenti berjalan.

Mas Biru berjalan menghampiriku, lalu mengambil tangan kiriku dan menggandengnya. "Kurang ini," ucapnya sembari mengangkat tautan tangan kami dan menunjukkannya padaku.

Ya ampun, Mas!
Melting banget.

Batinku yang pasti juga sudah membuat pipiku panas dan berubah semerah tomat.

Gimana-gimana part ini?

JejaringTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang