Bagian 29 • Sabiru

8.5K 954 28
                                    

Selamat siang teman-teman ✋

Sejauh ini cerita ini gimana menurut kalian?
Membosankan atau terlalu absurd?

Feel free banget ya buat kritik dan sarannya
Jangan lupa komentar, yeay

Terima kasih 🙏

***

Cinta pada pandangan pertama itu tidak ada!

Pernah mendengar kalimat seperti itu? jika pernah, maka selamat. Kalian telah mendengar satu penyataan yang ternyata tidak berlaku untuk setiap orang.

Awalnya, aku juga percaya bahwa love at the first sight benar-benar tidak ada. Aku dan lingkungan teman-temanku tidak pernah ada yang pernah mengalaminya, sehingga aku benar-benar tidak memiliki pengalaman nyata jika ada orang yang sungguhan jatuh cinta pada orang lain di pertemuan pertamanya.

Selama ini, aku selalu menjalin hubungan dengan perempuan yang memang sudah aku kenal sebelumnya. I mean, dia bukanlah orang yang benar-benar baru dalam kehidupanku. At least kami sudah saling mengenal jauh sebelum akhirnya aku memutuskan untuk mendekatinya.

Normalnya, aku akan mengamati dalam diam orang yang aku anggap menarik di mataku. Aku akan melihat dan memperhatikan bagaimana dia bersikap kepada orang lain, dan bagaimana dia bergaul dalam lingkungannya. Aku tau ini agak sedikit freak, karena Dewa, Abin, dan juga Chandra juga sering meledek kebiasaan ku yang satu ini. Hanya saja aku memang tidak bisa menghilangkan kebiasaan itu. Jika orang lain akan melakukan pendekatan sembari mencari tau sifat calon pasangan, aku lebih nyaman untuk mencari tau dulu sifat calon gebetan yang ingin aku dekati sungguhan.

Aku tidak mau jika nantinya aku sudah take action dan si perempuan sudah berharap banyak padaku, aku malah justru tiba-tiba mengatakan tidak cocok dan behenti untuk mendekati. Memang sih dalam beberapa case hal semacam ini tidak bisa dihindari. Namun setidaknya dengan observasi yang kita lakukan sebelumnya kita tidak akan merasa terlalu kaget dan juga pendekatan yang kita lakukan akan lebih sesuai dengan apa yang sudah kita harapkan.

"Kata Dewa, kamu mau bikin acara charity ya, Ra?" aku menoleh ke arah Rania yang duduk tepat di sebelahku.

Setelah hubungan kami naik satu tingkat, kami berdua sepakat untuk mengubah kata ganti lo-gue menjadi aku-kamu.

"Iya, Mas. Mas Biru udah di kabarin Mas Dewa?" tanyanya sembari mendongak dan menatap ke arahku.

Rania memang sedari tadi agak fokus dengan ponselnya, karena dia bilang ada salah satu kakak tingkat yang sedang bertanya padanya terkait jasa make-up yang memang ditawarkannya itu.

Aku mengangguk. "Iya, kemaren dia bilang sama ngajakin gitu. Tapi belum bilang apa-apa lagi sih selain gambaran besar konsepnya kaya gimana."

Aku melirik Rania yang kini sudah meletakan ponsel di atas tas yang ada di pangkuannya. "Tapi Mas setuju kan buat ikutan?"

Lagi-lagi aku mengangguk. "Iya. Abin sama Chandra juga setuju buat ikut." Lanjutku lagi.

"Menurut Mas Biru gimana?"

"Rencananya kan kemaren mau manfaatin perspektif gitu kan, lewat live yang udah kita announce dulu sebelumnya. Biar orang-orang udah pada tau dan nonton." Rania sedikit menjelaskan seperti apa yang di ceritakan Dewa beberapa hari lalu.

"Tapi kira-kira efektif nggak ya?" kalimat terakhirnya yang ternyata meminta pendapatku.

Aku tersenyum melihat begitu semangatnya Rania membicarakan hal seperti ini. Aku tidak pernah menyangka jika selain wajahnya yang begitu cantik, hatinya ternyata juga sangat baik.

"Menurut aku tergantung konsep acaranya gitu sih, Ra. Terus kita juga harus riset juga biasanya kalo acara charity gitu lebih enak live di YouTube atau via sosial media kaya Instagram aja." Aku mencoba memberikan apa yang aku pikirkan padanya.

Perihal mengkonsep suatu acara seperti ini, kita memang perlu untuk melakukan brain storming dengan orang lain. Saling bertukar pendapat untuk menemukan insight-insight baru yang nantinya dapat diadopsi ke dalam plan acara agar acara yang akan dilaksanakan bisa sesuai ekspektasi yang diinginkan.

"Bener juga sih, Mas. Mungkin nanti bakalan di bahas juga pas kita meet bareng-bareng."

"Iya, Ra. Semakin banyak orang, semakin banyak ide kreatif yang bakalan keluar nantinya."

"Ngomong-ngomong jadinya kapan itu ketemunya? lemaren Dewa bilangnya nunggu kamu sama temen-temen kamu free soalnya."

Dari beberapa hari yang lalu Dewa mengajakku dan Chandra untuk join, dia belum sama sekali mengabari ku kembali. Mungkin masih sibuk dengan urusan studio dan perspektif, dan juga memang belum ada kabar lanjutan dari teman-teman Rania.

"Kayaknya sih lusa. Tapi aku belum ngomong ke Mas Dewanya. Soalnya dia kaya lagi sibuk gitu di perspektif. Tadi pagi aja berangkat ke sananya pagi-pagi banget." Rania menjawab sembari memberitahukan bahwa Dewa mungkin sedang sibuk dengan urusan perspektif.

Belum lama ini Dewa memang mengatakan di grup kami berempat bahwa salah satu anggota timnya ada yang terkena covid sehingga dia dan seluruh tim yang lain mengecek kondisinya masing-masing. Untunglah tidak ada yang positif, tetapi mereka semua akhirnya memutuskan untuk menata ulang ruangan dan melakukan penyeterilan dengan disinfektan.

Lagi-lagi aku hanya mengangguk menanggapinya. "Kabarin aja ya besok, jadinya mau kapan."

"Siap."

***

"Mas ...."

Belum ada lima menit dari kami yang saling diam, Rania memanggil namaku yang langsung membuatku menoleh sebentar ke arahnya.

"Kenapa, Ra?" tanyaku sebelum akhirnya menoleh kembali untuk fokus pada jalanan di depan.

"Besok ada acara nggak?" aku menautkan kedua alis berpikir.

Aku mengingat-ingat kembali apakah sudah memiliki rencana khusus atau belum untuk hari esok."Nggak, Ra. Kenapa?"

Ku lirik Rania menoleh ke arahku. "Ini mbak-mbak yang mau minta tolong di make up buat wisuda besok katanya belum nemu fotografer gitu. Terus aku mau rekomendasiin Mas aja, tapi mau tanya dulu besok ada acara apa nggak." Jelasnya yang membuatku tersenyum.

Aku sudah berpikiran jika dia akan mengajakku berkencan. Namun justru malah ingin menawarkan pekerjaan.

Poor you, Ru!

"Aman, Ra."

"Kalo gitu aku bilangin ke mbaknya ya."

"Iya." Jawabku lagi.

"Oke kata mbaknya, Mas. Sama nitip bilang makasih katanya."

"Sama-sama."

Rania mengangguk-angguk. "Di jemput kan?" tentusaja, batinku menjawabnya.

"Maunya gimana?" tanyaku memastikan.

"Maunya iya. Tapi nanti Mas jadi kecepetan. Aku kan dateng kesannya pagi, sedangkan Mas baru kerjanya siang pas acara udah kelar."

"Gimana? keberatan nggak kalo tetep jemput?"

Aku merasa senang melihat bagaimana Rania yang tidak hanya mementingkan kepentingannya sendiri. Meski dia secara jujur mengatakan ingin di jemput, tetapi dia tetap menanyakan kesediaanku karena dia menganggap bahwa aku harus bangun cepat padahal baru bekerja di siang harinya.

Dalam hubungan-hubunganku sebelum ini, belum ada satu pun pacarku yang se pengertian dia. "Gapapa sayang...." Ucapku sambil tersenyum dan melihat ke arahnya.

And damn, pipinya yang langsung berubah warna membuatku ingin memegangnya sekarang juga!

JejaringTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang