Bagian 5 • Rania

15.4K 1.4K 19
                                    

"Mbak!"

"Ya, Bun?" aku yang sedang membaca komik mendongak.

"Tadi Tante Selin telfon Bunda." Dahiku mengernyit. Tanda bahwa aku masih butuh penjelasan lanjutan dari apa yang diucapkan Bunda barusan.

"Katanya beliau udah telfon kamu berkali-kali tapi nggak diangkat."

Aku meraih ponsel yang ada di meja, lalu meringis saat tidak berhasil menyalakannya. "HP-nya mati, Bun. Lupa belum di cas." Jelasku kemudian.

"Kenapa emangnya Tante Selin cariin aku?" aku bertanya untuk menjawab keingintahuanku.

"Anak temennya katanya mau nikahan. Terus nanyain kamu udah buka job lagi atau belum. Kalo udah mau minta tolong kamu aja."

Selain aktif menjadi mahasiswa, aku juga membuka jasa menjadi seorang MuA. Keisenganku semenjak awal masuk SMA, ternyata cukup bermanfaat untuk menambah pundi-pundi uang dalam tabungan.

"Covid gini emang boleh nikahan, Bun?" aku menarik tangan bunda agar duduk di sebelah.

"Boleh lah, Mbak. Cuma nggak boleh gede-gede acaranya, sama harus tetep jaga prokes." Bunda menjelaskan.

"Oooo," Aku mengangguk-angguk.

"Terus itu acaranya buat kapan?"

"Weekend ini katanya. Cuma Bunda belum nanya hari sabtu atau minggunya."

"Menurut Bunda gimana?" alih-alih membuat keputusan sendiri, aku justru bertanya kepada Bunda.

Sejak pandemi lebih dari setahun ini, aku belum satu pun menerima tawaran me-make up untuk acara apapun. Entah itu lamaran, pernikahan, atau acara-acara lain seperti wisuda dan sebagainya.

Prinsipku adalah mencegah lebih baik daripada mengobati, sehingga hati-hati adalah hal yang sangat wajib untuk aku lakukan.

"Terserah kamu sih, Mbak." Bunda meraih pergelanganku untuk dipegangnya.

"Kalo kamu ngerasa aman buat ambil job ini, ya ambil aja. Kalo masih takut, nanti biar Bunda yang bilang sama Tante Selin."

Aku menggeleng. "Nggak papa deh, Bun. Mbak mau coba. Udah suntuk juga di rumah terus, sekalian cari suasana baru."

***

"Ini bagus banget, Ra." Mbak Sania yang duduk di hadapanku tak henti-henti memuji hasil kerja tanganku.

"Ini bener-bener sesuai apa yang gue harepin, Ra."

Aku tersenyum menanggapi. "Nggak sebagus itu mbak hasilnya kalo yang di make up bukan Mbak Nia."

"Sebelum di touch up aja udah shinning simmering splendid." Lanjutku menambahkan.

Bintang utama dari acara hari ini pun tertawa malu. "Bisa aja Ra, lo."

"Pantes Mas Aldo kesengsem ya." Aku meledeknya dengan menyebutkan nama calon suaminya.

Mbak Sania adalah tipe orang yang easy going dan humble. Jadi selama lebih dari satu jam ini kami mengobrol, aku sudah merasa dekat dengannya.

"Mau nikah deg-deg an nggak, Mbak?" aku mencoba membangun rapport dengan perempuan berbaju putih ini.

"Gue nggak bisa tidur semaleman, Ra!"

"Pantes tadi kantong matanya kaya panda ya, Mbak." Aku mencoba bercanda untuk membantunya mengurangi rasa gugup.

"Ini aja kalo lo tau ya, jantung gue udah dah dig dug nggak karuan." Dia meletakkan tangan kanannya yang sudah bersarung tangan di dadanya.

Aku mengangguk-angguk menanggapi.

"Btw lo semester berapa, Ra? Mama bilang lo masih kuliah."

"Sekarang lima mbak, tapi bentar lagi enam." Jawabku singkat.

Kulihat Mbak Sania mengangguk. "Online terus ya?"

Aku meringis. "Iya mbak. Dari semester tiga kalo nggak salah."

"Tapi udah pernah ketemu temen kan?"

Lagi-lagi aku mengangguk. "Untungnya gue masih sempet kuliah di kampus setahun mbak. Paling nggak, udah pernah ketemu lah sama orang-orang."

"Entar tiba-tiba udah wisuda aja ya, Ra. Padahal nggak pernah ngampus." Ujarnya sembari mengambil ponsel yang tergeletak di depannya.

Aku menarik sebuah kursi untuk diduduki. "Semoga nggak sih. Pengen ngampus beneran juga, Mbak!" Aku mengatakan bahwa aku juga ingin kuliah di kelas secara normal.

"Ngomong-ngomong ini pernikahannya emang sesuai rencana atau udah mundur sebelumnya, Mbak?" aku bertanya karena cukup penasaran.

"Mundur, Ra. Harusnya sih bulan Juni kemaren, tapi karena angka covidnya lagi tinggi-tingginya jadi deh diundur nyampe sekarang. Ini aja kaya harus rela banget acaranya nggak sesuai ekspektasi." Ucapnya terdengar masih belum rela.

Aku meringis. Membayangkan bagaimana jika aku yang ada di posisinya.

Setiap orang pasti ingin yang terbaik untuk pernikahannya. Dan mengundang banyak orang untuk berbagi kebahagiaan di momen terpenting dalam hidup pastilah menjadi salah satu wish list wajib dalam sebuah rencana pernikahan.

"Tapi mo gimana lagi kan, daripada nggak jadi-jadi nikahnya." Lanjutnya sembari tertawa.

Aku ikut tersenyum untuk menangapi tawanya. Meski aku tau itu bukan tawa bahagia, setidaknya senyuman yang aku berikan untuk menanggapi dan menyemangatinya itu tulus.

Beberapa rencana memang kadang tidak dapat terealisasi sesuai keinginan manusia.

***


Aku tersenyum sembari menikmati segelas orange jus di salah satu bangku pojok di taman ini.

Acara pernikahan Mbak Sania dan Mas Aldo bertema garden party sehingga dilaksanakan di halaman megah rumah tiga lantai ini.

Aku hanya melihat-lihat sekeliling karena tidak ada satupun orang yang aku kenal. Satu-satunya orang yang aku kenal baik adalah Tante Selin, yang sayangnya sedang asyik mengobrol dengan teman-temannya.

Mataku membola sempurna saat menemukan seorang dengan kemeja batik yang sedang bergandengan dengan wanita cantik. Bahkan gaun yang dikenakan oleh sang wanita memiliki warna senada dengan sang laki-laki. "Sial! Udah punya pawang ternyata." Gumamku pada diri sendiri.

Arah pandangku terus mengikuti kedua orang yang sedang berjalan untuk memberikan selamat kepada kedua mempelai. Melihat bagaimana sang wanita menggandeng mesra lengannya, orang yang tidak mengenal mereka pun langsung tau bahwa hubungan diantara keduanya pasti lebih dari sekedar teman. More than just a friend!

Sabiru Angkasa, laki-laki menawan dari video yang aku tonton ternyata sudah tidak available lagi.

JejaringTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang