Bagian 34 • Rania

7.8K 764 3
                                    

Halo halo semua ...

Jadi aku baru aja kelar UAS, dan soalnya amat sangat tidak aku duga

Untuk itulah dalam rangka menghibur diri dari urusan duniawi ini, bab 34 akhirnya bisa publish hari ini

Selamat membaca!

***

"Dari apa yang pernah gue tau aja sih sebenernya pembangunan tuh nggak cuma peningkatan akses terhadap sumber dan manfaat, tapi  juga gimana akses dan manfaat itu akhirnya diperoleh oleh seluruh subjek pembangunan yang di tuju tanpa terkecuali."

Aku berdehem dan kembali memfokuskan pandangan pada kamera. "Perempuan dan laki-laki merupakan subyek pembangunan yang setara. I mean, mereka punya hak dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan memperoleh manfaat dari program. And off course, juga tidak diperlakukan berbeda hanya karena masalah pembedaan gender."

Aku sedikit tertawa setelah mendengar satu pertanyaan dari Mbak Rina yang berdiri di samping kamera. "Kalo ini sih bukan kapasitas gue buat jawab. Let the time give us the answer, then!"

Aku menarik napas pelan. "Yang gue tau ya, cuma berbagi perspektif aja kaya acara ini," aku menoleh ke arah beberapa anggota tim Mas Dewa yang sedang berlari entah karena masalah apa.

"Umumnya perempuan emang cuma jadi penerima pasif daripada pelaku pembangunan yang mampu memperbaiki nasib sendiri. Dimana menurut gue pribadi, tingkat ini adalah zero level of women's empowerment karena jika manfaat yang diperoleh perempuan rendah karena adanya diskriminasi gender yang sistematik, maka untuk mengatasi diskriminasi itu harusnya ada proses empowerment menuju tingkat pemerataan yang lebih tinggi."

"Jadi maksudnya pembangunan kita bias gender?" aku mengulang pertanyaan yang barusaja diberikan oleh laki-laki yang berdiri di samping kiri Mbak Rina.

"Kalo soal ini kita harus lihat konteksnya dulu kaya gimana. Programnya seperti apa, dan manfaat yang tadinya di rencanain ada apa aja." Aku melirik Mas Biru yang sedang duduk di sofa pojok ruangan, yang sama-sama menatapku dengan menyunggingkan senyum manis dan mengangkat ibu jarinya untuk menyemangati.

Sebenarnya aku sendiri tidak tahu apa motivasi Mas Dewa mengajakku untuk menjadi salah stau partisipan dalam tema kesetaraan gender yang diangkatnya kali ini. Jika boleh jujur, tentu aku tidak punya kapasitas sama sekali karena background ku sendiri adalah seorang mahasiswi psikologi.

Tapi saat kemaren aku tanya, katanya karena dia memang membutuhkan pandangan orang awam sebelum nantinya di akhir video akan diberikan penjelasan oleh orang yang memang capable untuk membicarakan topik berat semacam ini. Selain itu juga, dengan keberadaanku setidaknya akan menaikkan viewers -yang entah benar atau tidak, yang sesungguhnya hanya dikatakannya untuk membujukku agar mau untuk berpartisipasi dalam segmen kali ini.

"Yang mau gue tekenin aja nih, kalo sebenarnya tujuan pemberdayaan atau empowerment perempuan itu bukan untuk mengganti masyarakat patriarkhal menjadi masyarakat matriarkhal. Tetapi lebih untuk mencapai kesetaraan gender dalam proses pembangunan."

Aku mengambil napas sebelum kembali melanjutkan. "Perlu banget untuk pihak-pihak yang punya wewenang melaksanakan program buat mengintegrasikan gender dari tahap perencanaannya. Perlu juga adanya penyadaran atau consientisation semua pihak yang menyangkut kesadaran bahwa kebutuhan perempuan dan laki-laki itu sama pentingnya untuk di penuhi."

Aku mengakhiri sesi ini dengan tersenyum.

Turun dari kursi yang tadi aku duduki, lalu melangkah mendekati Mas Biru yang kini sudah berada beberapa langkah dari keberadaanku.

"Makasih, Mas." Aku menerima sebotol air mineral yang di sodorkannya padaku.

"Sama-sama cantik," ucapnya dengan senyum jahil seperti biasanya.

Tanpa mengindahkannya, aku menoleh ke belakang karena merasakan bahwa seseorang barusaja menepuk pelan pundakku. "Eh, iya Mbak. Makasih juga." Aku mengucapkan terima kasih atas kerja keras Mbak Rina dan tim Mas Dewa yang lain. Kebetulan yang menepuk pelan pundakku barusan memang Mbak Rina yang ingin mengucapkan terima kasih.

"Mas Dewa mana?" aku mengajukan pertanyaan kepada Mas Biru karena tidak menemukan sepupuku itu dalam ruangan.

"Tadi bilangnya sih mau jemput Olla."

"Mbak Olla?" ucapku sembari menautkan kedua alis.

Mas Biru hanya mengendikkan bahu. "Kalau gue nggak salah denger sih, Ra. Lupa!" Jawabnya yang membuatku mendengkus.

Setelah beberapa minggu menjadi pacarnya, aku baru tau bahwa Mas Biru adalah tipe yang cuek terhadap apapun yang tidak berkaitan dengan dirinya. Apa-apa yang menurutnya tidak penting, tidak akan repot-repot di simpan dalam pikirannya.

Aku mendengkus, "Kebiasaan banget sih, " balasku yang hanya di responnya dengan tertawa.

"Udah?" tanyanya sembari memberikan tas selempangku.

Aku benar-benar tidak menyangka bahwa dia sungguh mengikuti kemauanku untuk tidak meninggalkan tas merah muda yang aku titipkan padanya, kemana pun dia akan pergi hingga aku selesai mengambil video.

"Ini sama Mas di bawa terus?" aku mengangkat tasku ke depan wajahnya untuk memastikan dugaanku barusan.

Anggukan dari Mas Biru benar-benar membuatku speechless. Bagaimana dia dengan pedenya membawa tas pink kesana kemari di ruangan yang berisikan cukup banyak orang seperti ini?

"Nggak malu?"

"Kenapa?"

"Kan warnanya pink." Dia justru tertawa mendengar pernyataanku barusan.

"Gemes banget, deh!" Ucapnya sembari mengacak pelan ujung rambutku. Sebuah kebiasaan barunya yang aku ketahui belakangan ini sering dia lakukan.

"Berantakan Mas, ih!" Aku mundur selangkah untuk mengihindarinya.

"Belum ada lima menit kamu ngomongin kesetaraan gender loh, Ra. Masa sekarang langsung menstigma cowok yang bawa tas warna pink."Jelasnya yang membuatku sedikit tersentil.

Memangnya apa salahnya dengan laki-laki dan warna pink?
Apa salahnya laki-laki dengan warna-warna cerah?
I mean, warna-warna selain hitam putih dan warna gelap lain seperti abu dan navy?
Astaga, Ra!

Aku meringis mendengar penuturannya. "Sori, Mas. Belum biasa soalnya,"

Memang dasarnya manusia akan lebih mudah berteori daripada praktik. Di depan kamera tadi aku seolah-olah benar-benar pro dengan kesetaraan gender dan mengatakan bahwa stigma-stigma tertentu yang disematkan perempuan bukanlah hal yang alamiah dan hanya merupakan hasil dari konstruksi sosial yang bisa diubah. Namun beberapa waktu setelahnya saja, aku langsung menstigma buruk laki-laki yang membawa tas berwarna merah muda.

Picik sekali lo, Ra! Pikirku yang membuatku menggelengkan kepala.

"Ra?" Mas Biru menggerakkan telapak tangannya di hadapanku.

Sepertinya aku barusaja melamun dan membuatnya harus mengembalikan fokusku.

"Iya, Mas."

"Kenapa?"

Lagi-lagi aku hanya mengeleng. "Nggak papa."

Mas Biru hanya tersenyum. "Ya udah yuk!" Tukasnya entah mengajakku kemana.

Alisku mungkin kini sudah menyatu karena cukup bingung dengan ajakannya. "Kemana?"

"Refresh otak!" Jawabnya sembari menarik tanganku, menggenggamnya, lalu mengajakku untuk melangkah keluar dari studio Mas Dewa.

JejaringTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang