Pagi itu tak biasanya aku terbangun lebih awal. Jam dinding di kamar menunjukkan pukul 05.30. Aku melihat matahari pun belum nampak sehelai rambutnya, membuatku ingin tidur sebentar lagi. Aku memejamkan mata sebentar, tapi tak bisa. Kepalaku entah mengapa masih terasa berat.
Aku beranjak dan duduk tepat di pinggir kasur merahku. Masih terngiang di kepalaku cerita itu. Dan Reza yang memelukku, juga Reza yang ikut menangis dalam tangisanku.
"Reza... "
Dan Ibu. Ibu masih hidup. Ya Tuhan Ibu masih hidup. Aku masih tak percaya tentang hal ini. Apakah yang dikatakan Reza itu benar? Tapi Reza mustahil membual dengan membuat cerita sedetail itu. Kemarin seakan seperti mimpi. Membuat dadaku terasa sesak kembali.
Aku beranjak, melihat sebentar kecermin dan menyisir rambutku yang basah karena keringat. Kamar yang luas ini ternyata belum cukup untuk membuatku nyaman. Khusus untuk kemarin sampai hari ini.
"Menyebalkan. Sekarang aku harus bagaimana!? Apa aku harus senang karena akan bertemu Ibu?"
Berbicara pada bayangan sendiri telah menjadi kebiasaan, membuatku terlihat sinting. Lalu aku menyimpulkan senyum dan kembali datar.
"Dia wanita yang tidak bertanggung jawab!"
Kepalaku kembali dibuat pusing jika memikirkan hal itu. Aku masuk ke kamar mandi, yang masih berada dalam lingkup kamarku. Menuju wastafel dan membilas wajahku beberapa kali. Air dingin yang sejuk meregangkan oto-otot wajahku. Selesai, aku lalu ke bawah untuk memeriksa dapur. Karena biasanya pagi begini Reza sudah bangun menyiapkan sarapan.
"Hah..."
Ternyata dugaanku salah, dia tidak ada di sana. Berarti aku benar-benar terlalu awal untuk bangun. Karena perutku sudah terlalu lapar untuk menunggu Reza, akhirnya aku putuskan menggantikannya, meski ini bukan bagian dari tugasku dan aku tak sepandai Reza dalam urusan memasak.
Tapi membuat sarapan tidak sulit bagiku. Aku menaikkan air panas, lalu mengeluarkan beberapa roti untuk di bakar. Tak lupa, menumis telur dan bacon. Karena terburu-buru, tak sengaja aku menyentuh bagian bawah pan yang sudah sangat panas. "Ah!"
Dan membuatnya terjatuh, membuat suara gaduh yang sudah pasti terdengar oleh seisi rumah. Dari atas aku mendengar seseorang menuruni tangga dengan cepat.
"Rosa. Kenapa pagi begini sudah bangun dan membuat suara? Lalu itu... "
Aku yang kesakitan hanya tersenyum meringis. Kacamata yang tidak terpasang benar. Dengan wajah dan rambut kusut itu, mendekatiku.
"Hmppp..haha, Reza. Mukamu kusut sekali.. "
"Salah siapa? Pagi-pagi sudah buat jantung orang mau copot rasanya," katanya lalu menarik tanganku.
Dia terus berceramah sambil mendinginkan tanganku dengan air mengalir dengan lembutnya.
"Jangan buat aku khawatir."
Aku hanya diam mendengar. Entah mengapa aku merasakan sesuatu yang aneh dalam dadaku. Karena kupikir sudah cukup dia membasuh, aku menyuruhnya berhenti.
"Sudah," pintaku. Tapi dia tidak menuruti.
"Reza!" Aku berusaha menarik tanganku, tapi tak begitu kuat untuk melepaskan genggamannya. Aku sadar Reza adalah pria dan aku hanya gadis kecil. Ya, membuatku sadar bahwa aku tak cukup kuat untuk melawannya.
"Aku harus bilang berapa kali agar kamu mengerti? Jangan sampai kamu melukai dirimu sendiri!"
Suaranya lantang, aku tersentak. Dia berkata sembari melepas tanganku yang semula ia genggam. Meninggalkan bekas yang jelas terlihat.
Kami terdiam dalam keheningan beberapa saat. Tidak biasanya kami begini. Sebelumnya kalaupun aku melakukan kesalahan, Reza hanya akan menasihatiku lalu kembali menjadi Reza yang biasanya, tersenyum dan bercanda.
Aku pun mencoba mengalah. Lalu menarik lengan baju Reza yang pendek dengan manja, "Maaf."
Dia lalu menarik tanganku dan kembali menggengam, kemudian mendekatkannya tepat di dada kirinya. Dia menarik tanganku begitu cepat hingga buatku tersentak sesaat.
Lalu aku merasakan detak jantung yang tak biasa, begitu cepat. Detak jantung Reza.
Apa dia sebegitu khawatirnya padaku? Aku melihat mata yang menatapku dibalik kacamata tebal itu. Wajah yang kusut tak menutupi kekhawatirannya seperti ingin menangis. Membuatku ingin memeluknya. Dan itu jelas mustahil. Akan terlihat aneh jika keponakan memeluk pamannya dengan alasan kasihan.
Kekanakan.
Tapi tidak kali ini, tubuhku merespon. Tanganku bergerak dengan pelan dan pasti, berusaha menjangkau pipi kirinya. Tak seperti aku yang biasa. Dan tubuhku terasa begitu yakin melakukannya.
"Aku...," belum selesai terucap, suara air didih itu menyadarkanku.
"Aku yang menyiapkan minum kalau begitu, Reza saja yang menyiapkan makanan" aku beralih sembari menarik tanganku dari genggaman tangan orang dewasa.
Aku pergi, memberi jarak dari tempat ia masih berdiri mematung.
***
"Hah??? Apa yang barusan? Barusan aku, " aku mengingat kembali kejadian di dapur yang baru saja terjadi.
Membuatku terus berfikir apa yang sebenarnya aku lakukan. Seakan seorang telah mengambil jasadku, dan bergerak sesuka hatinya tanpa pikir panjang.
"Bodoh, bodoh, bodoh..." aku membungkam wajahku ke dalam bantal, agar tak sampai suaraku terdengar keluar.
"Apa yang barusan aku lakukan? Kenapa tanganku?" aku melihat kembali tangan kiriku yang terlihat innocent itu. Lalu melihat tangan kananku yang masih sedikit terlihat lingkaran merah darinya.
"Reza... ada apa dengan dirimu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
I Just Want Him, My Uncle
Teen FictionRosa kecil yang telah lama tinggal di Panti Asuhan, dan penghuni 'Kasih Ibu' yang mana sudah seperti keluarganya sendiri. Sekarang ia harus meninggalkan tempat itu karena seseorang yang mengaku sebagai saudara ibu kandungnya, Reza, akan mengadopsin...