Chap 10.5: Reza and His Answer (Part 1)

957 39 1
                                    

Aku selalu sulit memposisikan diri saat menjadi bagian hidup orang lain.

Seakan jati diri ini masih dipertanyakan, 'kepada siapa aku hidup, untuk apa, apakah aku bagian penting dari hidup mereka?'.

Pertanyaan itu muncul saat pertama bertemu dengan keluarga pertamaku. Ibu Sri dan pak Anand. Atau bisa kusebut ibu dan ayah. "panggil aku ibu" kata kata yang tidak akan pernah kulupakan.

Ibu membesarkanku dengan penuh kasih sayang karena saat itu aku diangkatnya sebagai anak semata wayang tanpa saudara.

Ibu Sri memilih anak angkat karena belum dikaruniai anak sejak hampir 10 tahun pernikahannya.

Meski Ibu Sri membesarkanku dengan perhatian, aku tidak melihat hal serupa dari mata ayah. 

Dia orang tegas dan dingin seakan sulit kugapai. "ayah sibuk, " begitu jawaban ibu setiap aku tanya perihal ayah.

Waktu berlalu hingga aku berusia 6 tahun, ibu memberitahu bahwa ia mengandung saudara baruku. Kebahagiaan tak bisa ia bendung karena itu merupakan kehamilan pertama dalam hidupnya.

Aku turut merayakan kebahagiaan Ibu atas anak sulung kandungnya.

Namun ketika berpikir panjang, jika ia telah lahir nanti apa aku akan tetap dibutuhkan?

Ibu membesarkan adik laki-lakiku seperti halnya aku yang dulu pertama diterima.

Namun mata itu lebih menunjukkan kebahagiaan dari yang kuduga, ayah yang selalu dingin pun juga tersenyum tanpa ia sadari saat jari besar itu digenggam oleh tangan mungil anak kandung pertamanya.

Itu adalah kebahagian pertama yang begitu indah dimataku. Momen itu mengingatkan atas pertanyaan yang dahulu terus muncul dan kuputuskan untuk memilih jalanku sendiri.

Aku menyelesaikan bangku SMA dan melanjutkan jenjang kuliah.

Di situ adalah titik penting aku bertemu dan duduk membicarakan masa depan dengan ayah.

Aku begitu senang karena ayah menyempatkan waktu untuk berbicara tentang diriku.

"Aku mau kamu mengambil manajemen ekonomi" dari mata itu seakan memerintahkan aku untuk mengindahkan keinginannya.

"Ayah aku sudah menentukan pilihan jauh sebelum lulus dan yakin dengan ini", belum selesai dengan perngakuanku ayah lantas bertanya.

"Jurusan apa?"

Aku pikir ini akan berjalan baik, "sastra indonesia".

Ayah lalu berdiri dan berbalik segera sebelum mengakhiri pembicaraan. "Ayah?" tak sepenuhnya membalikkan badan menghadapku.

"Aku tidak peduli lagi. Kau mau menjadi diri sendiri itu terserah. Urusanku sudah selesai. Aku memberi pilihan yang jelas dan kamu memilih jauh diluar itu. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi."

Itu kalimat terakhir yang kudengar darinya. Dan menjadi yang terakhir dalam hidupku memandang sosok figur ayah.

Aku pun mencoba mandiri meski terkadang Ibu memberi jalan termudah, aku berusaha menolaknya dengan halus.

Ibu lah yang mempertemukanku dengan Dian juga memperkenalkan Sinta teman kecilku.

Hingga Dian dan Sinta yang akhirnya mempertemukanku dengan Roni dan Eszha orang tua Rosa.

Dan semua awal itu akhirnya membawaku kepada alasan dan untuk siapa aku hidup. Satu-satunya alasan untuk terus hidup.

Saat aku bertemu Sinta dan melalui waktu bersama, jawaban dari pertanyaan yang telah lama aku cari bermula padanya.

Namun hidupku seakan berhenti pada titik itu. Saat ia tidak dalam pandanganku dan Tuhan memilih mengambilnya bersama malaikat kecilku.  

I Just Want Him, My UncleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang