Chap 2: Facts

5.7K 254 0
                                    

Rosalia Fernanda… Aku begitu menyayanginya. Seperti aku menyayangi Sinta. Hingga aku takut jika harus kehilangan dia, seperti disaat aku kehilangan Sinta. Begitu banyak hal yang kusembunyikan darinya. Tentangku, juga tentang keluarganya. Tapi, ‘sepandai-pandai menyembunyikan bangkai pasti akan tercium baunya’. Dan benar, itu menjadi kenyataan yang harus kuhadapi saat ini.

            Siang itu ibuku tiba-tiba datang ke rumah. Dia sudah mengetahui keberadaan Rosa yang aku adopsi sejak awal. Ku kira kedatangannya untuk memastikan keadaan Rosa. Tapi tidak untuk hari ini.

“Aku ingin menanyakan beberapa hal terkait Rosa. Kamu pasti sudah tahu tentang hal ini. Dan kamu menyembunyikan hal ini dari ibu, Reza. Juga menyembunyikan hal ini dari Rosa” Aku tak bisa berkata apa-apa lagi, juga tak bisa menentang kebenaran itu.

            Ruang tamu yang tak begitu luas ini membuatku semakin terpojokkan. “Ibu Rosa masih hidup. Tapi kamu mengatakan pada ku kalau Ibu Rosa sudah tiada. Apa maksudmu? Reza, kamu tahu sendirikan? Kita bukan keluarga asli Rosa. Sampai kapan kamu mau menyembunyikan hal ini? Kalau dia sampai tahu, apa jadinya nanti. Dia sudah pasti akan sangat kecewa. Reza? Jangan hanya diam, jelaskan yang sebenarnya!”

            Tiba-tiba saja aku mendengar langkah kaki seseorang. Memasuki rumah, dan berhenti tepat di ruang tamu. “Rosa?” meskipun suara Ibu yang lirih, aku langsung tersadar. Rosa yang sepulang dari sekolah. Tapi dari jam berapa ia pulang?

            Gadis itu terus menatapku tajam. Seakan sedang menatap sesuatu yang ia benci. Wajahnya memerah seakan ia menahan sesuatu yang ingin ia utarakan. “Pembohong!” kata yang pertama ia ucapkan adalah ‘pembohong’. Ya. Aku memang pembohong, penipu, pembual. Rosa beranjak dari tempat ia berdiri, meninggalkanku yang hanya diam dan tak dapat berkutik lagi.“Reza! Kamu mau diam sampai kapan? Kalau saja sejak awal kamu mau menjelaskannya baik-baik dengan Rosa, tidak akan ada kejadian seperti ini. Jelaskan alasanmu padanya. Dia pasti akan mengerti. Karena dia bukan anak kecil lagi.”

            Akupun mengindahkan permintaan Ibu. Ibu benar, aku tidak bisa terus diam seperti ini.  Aku berjalan dengan cepat menuju lantai 2, kamar Rosa. Aku berusaha untuk tetap tenang dan tak mengacaukan keadaan.

Tokk, tokk, tokk..

 “Rosa?” Tapi tak ada jawab. Aku mencoba membuka pintunya, tapi tak bisa. Dia menguncinya dari dalam.

“Rosa. Dengarkan penjelasanku. Ku mohon. Ini yang terakhir. Dan aku tidak akan mengulangi kesalahan itu lagi. Jadi aku mohon dengar penjelasanku.” Walaupun aku baru akan menjelaskan , tapi tetap tak ada jawab.

“Dengar, aku akan menceritakan tentang Ibu mu juga alasan mengapa aku mengadopsimu. Jadi ku mohon, dengarkan.”

“Itu… dulu sekali. Aku, Sinta, Ayahmu juga.. Ibumu adalah teman dekat. Lebih dari itu, kita sudah seperti keluarga. Dan disaat Ibumu sedang hamil muda, Ayahmu.. meninggal.”

Aku mencoba mengingat kembali saat itu, “Akhirnya, karena keadaan ekonomi juga karena tak ada kerabat yang mau menerima ibumu, Aku dan Sinta berinisiatif merawat nya hingga kau terlahir. Ibumu.. dia ingin bisa menghidupimu dengan usahanya sendiri. Dan kemudian pergi meninggalkan rumah kami untuk membangun rumah sendiri, karena dia tak ingin akan lebih merepotkan. Tapi..” Aku berfikir sejenak.

“Selang beberapa tahun kemudian, dia mengirimkan surat. Dia.. mengakui belum sanggup untuk menghidupimu dan menitipkanmu di Panti Asuhan,”

“DIAM!! Sudah, akh.. aku sudah tidak mau mendengarnya lag-gi ikh.” Terdengar suaranya menjerit, dadaku terasa sakit. Aku tak kuasa, hukum aku Tuhan, aku salah telah menyakitinya.

“ Rosa. Dia memohon pada kami untuk menjemputmu disaat kamu berumur 6 tahun, dan jika dia sudah merasa sanggup untuk menghidupimu… dia akan menjemputmu. Aku dan Sinta saat itu begitu antusias untuk menjemputmu, tapi beberapa bulan sebelum kami akan menjemputmu. Sinta meninggal. Dan aku sendiri. Tapi aku tetap menjalani amanah Sinta untuk merawatmu… Jadi ku mohon, aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri, jika kamu belum memaafkanku.”

Kreeek..  

Pintunya pun terbuka. Dia terus menundukkan kepala. Aku mencoba menyentuh wajahnya dan menengadahkannya.Tampak wajahnya begitu mendung. Pipi dan bibirnya yang mungil memerah terlebih matanya yang bengkak. Dia menatapku kosong. “Maafkan aku Rosa…” Dia lalu menepis tanganku dari wajahnya. Namun tetap menatapku kosong.

“Apa aku begitu tak bergunanya. Sampai dia membuangku?” Air itu ternyata tak cukup berhenti, setetes, lalu menyusul yang lain dari ke-2 pelupuk matanya. “Dia melakukan itu bukan untuk membuangmu. Tapi dia hanya belum mampu untuk membahagiakanmu. Dia sudah berjanji akan menjemputmu kelak. Jadi percayalah.” “Lalu kenapa Reza menutupi semua ini?”

            “Aku takut. Kalau-kalau kamu tau aku bukan keluargamu. Kamu tidak akan mau tinggal bersamaku.” Aku tak bisa menatapnya. Aku benar-benar pengecut. “Tapi kamu bilang. Bagimu, ibu dan ayah sudah seperti keluarga. Yang berarti aku juga keluargamu kan?”

Aku memberanikan diri untuk menatapnya. Tapi tiba-tiba saja, tanpa ku duga. Dia memelukku. “Aku memaafkanmu. Jadi ku mohon Reza! Jangan pernah menutup-nutupi sesuatu dariku, atau berbohong padaku lagi! Aku menyayangimu, seperti aku menyayangi Ibu dan Ayah. Berjanjilah!”

            “Ya. Aku berjanji Rosa. Terima Kasih.. Aku juga sayang padamu.” Sangat sayang, hingga tak ingin aku melepaskan pelukan ini. 

I Just Want Him, My UncleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang