Chap 1: My name is Rosalia

6.1K 245 0
                                    

“Tak terasa, waktu begitu cepat. Bagaikan aliran air, dan aku adalah daun kering yang terbawa olehnya. Begitu rapuh, juga mudah terombang-ambing oleh arusnya. 
Dan kini, aku di sini. Jika ku putar kembali waktu, dulu seakan seperti mimpi dalam tidurku.
Tuhan mempertemukanku dengannya, kini seakan peristiwa itu terasa biasa bagiku.
Tapi, jika aku memutar kembali waktu dulu. Saat pertama kali aku bertemu dengannya, peristiwa itu seakan seperti sihir bagiku. Luar Biasa.”

“Sabtu, tiga puluh satu Desember. Dua ribu sebelas… “ Aku Rosalia Fernanda, siswi kelas 3 SMP. Kehidupan baru ku berawal sejak aku tinggal bersama Pamanku, Reza Anan (32). Dia seorang penulis novel. Paman yang cukup bertanggung jawab atas hidup dan mati keponakannya. Kurang lebih sudah 9 tahun lamanya. Sebelum aku tinggal bersamanya, sudah ada seseorang yang berada di sisinya. Tapi kini, sosok itu telah tiada tidak lama sebelum ia menjemputku dulu. Sosok yang dicintai oleh pamanku, istri yang begitu dicintainya.

“Rosa! Sudah sediakan piring- gelasnya di meja makan?”Pemilik suara yang berasal dari dapur itu adalah Paman. Hari ini giliran Paman yang membuat makanan. Kami bergiliran, sesuai jadwal piket yang kami sepakati. “Ah. Sebentar Za. Paragraph terakhir!” Dan sekarang aku juga sibuk mengetik untuk ‘Enter’ blogku. “Sedikit lagi.”

“Ros. Mana piringnya?” Dan sekarang Pamanku telah kembali dengan masakannya yang siap disantap. Sedangkan aku belum menyiapkan satupun piring dan gelas di atas meja. “Maaf , Za… “ Aku memasang tampang memelas padanya. “Shut Down laptop mu, sekarang. Lalu singkirkan dari meja makan. Kamu bisa melanjutkannya nanti.” Paman ku ini orang yang baik. Tapi walaupun begitu, tidak selalu aku bisa bermanja-manja padanya. Dia orang yang disiplin waktu. Jadi aku sering sekali dinasihatinya. Pernah sekali aku dimarahinya. Dan itu membuatku benar-benar trauma. Dia menyeramkan sekali kalau marah.

“Hm… enak  Za. Makin hari makin enak. Level masak Reza bertambah lagi ya...? “ Aku mencoba basa-basi. “Mau membuka pembicaraan atau mengalihkan pembicaraan?” Paman ku ini juga orang yang berlidah tajam dan dingin. “Iya iyaa… Aku kan sudah minta maaf tadi. Oh ya Za. Hari ini tanggal berapa ya?” Aku mengganti topik obrolan, mencoba memancingnya.  Dia ingat tidak ya?

“Hhm… tanggal 31. Kamu itu ya. Segitunya banget, sampai lupa tanggal. Makanya, liburan gini jangan males-malesan aja. Cepat pikun nanti, masih kecil sudah pikun. Ponakanku tersayang. Ckckck” Ini dia sifat yang paling aku tidak suka darinya. Jika berbicara, asal ‘ceplas-ceplos’. Terutama jika itu tertuju padaku. Tidak ada manis-manisnya. Dan dugaanku memang benar, DIA LUPA HARI ULANG TAHUNKU!?Atau lebih tepatnya dia tidak peduli. 

“Za. Sekali-kali, aku mau berangkat ke sekolah tanpa harus diantar.” Aku mengubah topik obrolan lagi, tanpa basa-basi. “E? Kenapa tiba-tiba?” sendoknya terhenti saat akan masuk ke dalam mulutnya. “Aku mau coba untuk lebih mandiri.” Aku mencari alasan. “Tapi kamu masih SMP, dan belum boleh bawa kendaraan pribadi. Kalo naik motor di sekitar rum…”

“Iya. Kalau itu aku juga tahu. Aku akan berangkat ke sekolah dengan angkutan umum kok.” Aku berkata sambil menatap piringku yang masih terisi oleh makanan, sebab aku tak berani menatap wajahnya langsung.

Dia marah tidak ya?Aku melakukan hal ini agar tidak merepotkan Pamanku, sebab dia telah memberikan segalanya untukku. Rumah, makan, pakaian juga pendidikan. Dan itu sudah lebih dari cukup.

Kkrekk!  Aku mendengar deritan kaki kursi, itu kursi Pamanku. Dia beranjak dari kursinya, dan berdiri meninggalkan meja makan.  Dia benar marah!?“Reza… ah, bukan maksudku Paman! Paman marah hanya karena aku ingin membuat aturan sendiri? Maaf, bukan seperti itu…”  Aku pun juga ikut beranjak dari kursiku lalu ragu-ragu aku mendekatinya. Khawatir nanti jika aku terkena imbasnya. Dia membalikkan badan dan melihatku sebentar “Ha? Untuk apa aku marah? Aku mau ambil minum, kamu lupa menyediakan minum di meja makan tadi.” Huh.. Ternyata mau ambil minum. Aku kira dia marah. Rasanya aku malu sendiri dengan perkataanku barusan.

“Kamu itu, kalo ada maunya memanggilku dengan sebutan ‘Paman’. Ya, sudah. Itu terserah kamu kalo mau berangkat tanpa harus diantar. Tapi kamu harus bisa jaga diri, ya?” Tanpa ragu aku mengindahkan perintahnya “Siap Bos!” Sudah 9 tahun lamanya, dan aku bahagia bisa bertemu, juga berada di sisinya. Semoga aku bisa terus bersamanya. Semoga.

I Just Want Him, My UncleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang