Tangan besar membelai pipiku, hangatnya merasuk hingga ke saraf menuruni setiap rahang bawahku. "Reza. Apa yang kau lakukan?"
"Ini saja belum cukup," bibir dingin itu balas menjawab. Jarinya lalu menyentuh bibir keringku. Dada mulai terasa sesak, nafasku terengah-engah. Seakan ada sesuatu yang ingin meledak di dalam. Matanya terus menatap, tapi aku berusaha menghindar dari kedua sorot itu.
"Lihat aku. Jangan melihat yang lain!" suara tegas yang menambah pacu detak jantung, tapi aku suka.
Aku lalu menuruti perintahnya. Melihat mata cokelat di balik kacamata itu. Mendekat. Dia lalu terus mendekat. Memotong setiap jarak di antara kami.
Hembusan napasku dengan Reza menyatu –menguap –menyebar di permukaan wajahku. Jari panjang menyusuri setiap garis kepalaku. Berusaha menolak, tapi usaha itu sia-sia. "Rosa..." malah aku menarik kerah baju Reza. Tak searah dengan jalan pikiran.
"Reza, peluk aku."
"Kita tidak seharusnya melakukan ini,"
"Peluk aku..."
"Jika itu yang kau mau." Segera dia melepas kacamata. Tanpa basa-basi bibir dingin itu lalu menyapu bibir keringkuku. Dalam –menyatu. Ternyata benar, bibir ini dingin. Tak sempat aku berpikir lagi karena Reza yang semakin menjadi. Bibir, tulang rahang, dan mataku disapunya juga. "Rosa," suara lembut itu tepat di telingaku.
"Rosa... Rosa. Rosa. Bangun! Sekarang sudah jam 6!"
Dugh dugh dugh
Aku lalu membuka mata dan dengan segera sadar ternyata itu hanya mimpi semalam. Mimpi buruk yang indah.
***
"Tak pernah aku melihatmu bangun sesiang ini." Reza membuyar lamunanku. Rasanya aku malu sendiri dengan mimpi semalam ini. Semua gara-gara Reza!
Semalam –sebelum kembali ke kamar, dia melakukan hal yang tak kuduga. Dia selalu saja membuatku terkejut dengan tingkahnya. Seperti memelukku tiba-tiba, atau menyentuh bibirku sewaktu di mobil. Kenapa aku masih mengingat itu pula?
"Itu salah siapa?"
"Apa kau menyalahkanku? 'Itu salah siapa?' yang bangun kesiangan? Aku sudah membangunkanmu beberapa kali."
"Kenapa tidak Reza buka saja pintu kamar dan membangunkanku langsung."
Saat mengatakan itu aku teringat sesuatu. Dan saat itu juga dia yang sedang membersihkan peralatan makan berhenti sejenak lalu memandangku dengan kacamata yang longgar.
"Berpikirlah dulu sebelum mengatakan sesuatu. Apa resiko yang akan kau dapatkan. Lindungi dirimu sendiri meski itu orang terdekat sekalipun." Reza lalu kembali dengan cuciannya. Tapi, apa maksudnya?
Aku coba mencerna maksud Reza. Seakan ada yang meninju ulu hatiku. Perasaan bersalah ini karena berkata tanpa pikir panjang. Ada saat dimana Reza bersikap layaknya orang dewasa di mataku. Untuk hal ini belum dapat kucerna.
"Nanti pulang jam berapa?"
"Mungkin sekitar jam 4?"
"Selama itu?"
"Aku ada rapat OSIS untuk milad sekolah kami."
"Kamu tahu nanti malam kita ada acara apa kan,"
"Acara makan malam?" aku melahap potongan terakhir telur tanpa menyisakan sedikitpun kotoran piring itu. Selesai dengan sarapan singkat, segera aku membawa bekas alat makan ke wastafel. Cuci tangan dan bersiap.
"Maaf Reza, aku tidak bisa pulang cepat. Tapi kuusahakan segera sebelum petang aku pulang."
"Kamu masih SMP tapi pergi pulang seperti buruh bangunan,"
Aku memelas padanya memohon maaf. "Kalaupun aku membantu Reza, aku tidak dapat berbuat banyak atau nihil membantu."
"Hah? Bilang apa? Aku tidak dapat mendengarmu." Kali ini Reza mencoba bergurau dengan telunjuknya dia menutup kedua telinga. Karenanya aku dibuat merasa bersalah.
"Sekali lagi aku minta maaf karena urusan OSIS aku akan pulang terlambat."
"Jika siang ini kamu belum pulang, aku akan minta mba Ika membantu,"
Mba Ika adalah tetangga samping rumah yang dekat dengan kami, dia ibu rumah tangga yang sudah beranak empat. Sekarang dia hanya tinggal bersama suami dan satu anaknya yang bungsu. Anak yang lain entah pergi untuk urusan apa, yang pasti anak mereka kini sudah dewasa dan memiliki pekerjaan di tempat yang jauh dari rumah.
"Aku usahakan untuk pulang awal." Aku yang senang mendengar hal itu tentang 'cukup mba Ika yang datang kemari' tanpa kedatangn wanita itu.
***
"Siapa nama teman Reza yang akan datang?"
"Pramadiantara,"
"Prama, prama, prama... Pramadiantara pemilik supermarket terkenal itu!?"
"Iya, pendiri sekaligus pemilik Comarket terkenal itu."
"Reza berteman dengan Pramadiantara!?"
"Iya Rosa... dia bukan cuma teman paman, dia juga teman dekat ibumu."
"Serius? Ibu? Oh. Hahaha... teman dekat ibu. Ibu seperti apa ya dulu? Orang yang pendiamkah? Supelkah? Sosoknya saja aku tak tahu," sebentar aku menyadari arah pembicaraan kami yang membuat bisu beberapa saat.
Reza lagi-lagi membicarakan masalah pelik itu. Membuatnya kembali menarik impuls –coba membalik suasana.
"Hahaha... Dian itu walaupun seorang pemilik Comarket sekalipun, tapi penampakannya seperti orang biasa. Penampilan saja kadang masih berantakan. Tidak seperti CEO berdasi yang sering kita lihat."
"Orang yang menarik."
"Dian juga memiliki satu putera dan satu puteri. Anak pertamanya sekarang sudah SMA, lebih dua tahun darimu. Sedang puterinya beda dua tahun di bawahmu."
"Aku tidak sabar bertemu mereka."
***
"Benar aku tidak akan menjemput nanti?"
"Iya Reza. Aku kukuh dengan keputusanku. Lagipula, aku bukan anak kecil lagi."
"Apa sebaiknya aku minta tolong Lisa untuk menjemputmu?" telingaku dibuatnya panas mendengar nama wanita yang sok cantik itu. Urat leher seakan tertarik. "Bisakah kita tidak menarik wanita itu dalam masalah ini?" tak sadar aku membentak Reza.
Beberapa meter lagi akan tepat di depan sekolah, tapi Reza mengerem mobil seketika. "Rosa, ada apa denganmu? Kenapa nada bicaramu seperi itu? Aku hanya mencari solusi untuk hal ini. Dan apa yang salah dengan Lisa?"
Lagi-lagi kami ribut untuk masalah yang sepele. Kali ini aku yang memulainya. Aku salah. Aku terlalu menuruti emosi dan perasaan aneh ini. "Maaf," aku telah siap mendorong pintu mobil, "aku berangkat," dan keluar. Dengan sepuluh langkah, di depan telah menanti gerbang sekolah yang akan di tutup. Aku mencoba berjalan tidak tergesa-gesa. Mencoba menunggunya –mengejarku.
BODOH! Apa yang aku pikirkan?
KAMU SEDANG MEMBACA
I Just Want Him, My Uncle
Roman pour AdolescentsRosa kecil yang telah lama tinggal di Panti Asuhan, dan penghuni 'Kasih Ibu' yang mana sudah seperti keluarganya sendiri. Sekarang ia harus meninggalkan tempat itu karena seseorang yang mengaku sebagai saudara ibu kandungnya, Reza, akan mengadopsin...