"Jangan lah kau tinggalkan diriku, tak kan mampu menghadapi semua"
"Hanya bersama mu ku akan bisa"
"Kau adalah darah ku"
"Kau adalah jantungku"
"Kau adalah hidupku lengkapi diriku"
"Oh sayang ku kau begitu..."
"Sempurna"
Heeseung baru saja menyelesaikan nyanyiannya dengan gitarnya. Jake langsung memeluknya erat dari belakang. Menikmati kehangatan di kala hujan.
"Lagunya bagus banget", puji Jake
"Iyaa, lagunya cocok buat kamu"
Heeseung memutar tubuhnya untuk membalas pelukan Jake. Mengusap rambut adik kesayangannya. Menghargai setiap detik yang dilewati.
"Kaka kangen tau", adu Heeseung kepada Jake.
"Masa? Buktinya apa?"
"Nih lihat mata Kaka, sampai bengkak nangisin kamu mulu"
"Iii jangan nangis, nanti jelek"
"Biarin, udah dasarnya jelek kok"
"Siapa yang bilang Kakanya Jake jelek? Bilangin sini nanti Jake marahin😡"
"Siapa ya? gamau aduin ah, kasian nanti dia kena marah sama kamu yang bawel"
"Aku ga bawel ya, aku aduin Bunda nih Kaka ngatain aku bawel"
"Aduin aja sana, kamu kang cepu"
"Aku mau pamer Kak", Jake melepas pelukannya. Kemudian duduk bersila dihadapan Heeseung sambil memeluk guling.
"Kemarin Jake ketemu sama Bunda, Bunda kalo dilihat secara langsung cantik banget ya, pantes aja Papah suka"
Heeseung tersenyum sambil menyelipkan helaian rambut Jake ke belakang telinganya, "Papah ga suka sama Bunda sepenuhnya Jake, yang suka sama Bunda itu Om Joshua, tapi karna Om Joshua ga bisa menikah sama Bunda, alhasil Papah yang menikah sama Bunda"
Jake hanya ber oh ria. Ia menenggelam kepalanya pada guling itu. Heeseung yang selalu kegemasan dengan tingkah adik kesayangannya hanya bisa mengusap kepalanya untuk kesekian kalinya.
"Jake, ikut Kaka yuk?", ajaknya
"Hum? Gamau Jake udah nyaman disini", tolaknya
"Jake ga kangen sama Kaka? Jake ga kangen sama Mamah?"
"Kangen sih.. Tapi Jake ga bisa ikut Kaka, gimana kalau Kaka aja yang ikut Jake?"
Jake mengulurkan tangannya. Heeseung berniat menggenggamnya. Saat ia menggenggam tangan itu, seketika ia terbangun dari mimpinya.
"Jake? Jake kamu dimana?", Heeseung meraba kasur disebelahnya. Mencari keberadaan sang adik. Buru buru ia keluar kamarnya, berfikir jika adiknya sudah bangun duluan.
"Ayah, Jake ada di kamarnya Ayah?", tanya Heeseung kepada Joshua.
Joshua mengusap punggung Heeseung, "Jake nya lagi tidur, jangan di ganggu ya?"
"Tidur di mana Yah? Ini udah waktunya Jake bangun"
"Lagi tidur sama Bunda, udah biarin aja dia tidur, pasti dia cape"
"Jake ga cape Ayah, dia anak kuat ga mungkin cape!"
"Heeseung! Kamu jangan kaya gini, kamu ga kasihan sama diri kamu sendiri?"
"Apaan sih, Jake itu belum mati Ayah, aku aja masih denger suaranya!"
"Terima kenyataan atau Ayah bawa kamu ke Rumah Sakit Jiwa?", ancam Joshua.
"Emang ya, Ayah sama Papah ga ada bedanya"
Heeseung melepas tangan Joshua pada bahunya. Mengambil kunci motornya dan pergi meninggalkan rumah. Menuju rumah yang sesungguhnya.
Kemana lagi kalau bukan ke makam Jake?
Makam baru yang masih wangi. Antara wangi karna masih baru, atau karna yang tertanam disana adalah orang baik. Heeseung pun tak tau.
Heeseung tau jelas jika adiknya itu sudah tiada. Namun, ia selalu membohongi dirinya jika Jake masih bersamanya. Masih disebelahnya, berjuang untuk hari hari selanjutnya.
Jake memintanya untuk hidup dengan cinta. Jadi satu satunya cara hidup dengan cinta adalah dengan hidup sambil membayangkan jika Jake masih ada.
"Halo Jake? Semalam kenapa cuma sebentar mampir ke mimpinya Kaka?"
...
Udah di buatin bonchap ya. Sekarang saya mau lanjut berpusing ria untuk PAS besok.
Semangat untuk seninnya. Saya tau kamu seterong💪
-Yvan
KAMU SEDANG MEMBACA
Why I Can't?
Non-Fiction[Sequel of Maze In Mirror] Jake yang sadar bahwa semua orang dari garis keturunan ayahnya memiliki kemampuan yang sama untuk berbicara dengan bayangannya, membuatnya penasaran. mengapa hanya dirinya saja yang tidak bisa?