Chelsea Shamashita pernah berkesempatan mengenal dunia yang lebih luas dari sekadar kota tempat dia dilahirkan. Ada banyak peluang hadir lalu terbuang begitu saja. Terkadang, mereka tidak mengerti mengapa dia menolak semua tawaran yang ada sementara yang lain berusaha sekuat mungkin untuk bisa meraih itu.
Jawabannya sudah jelas, sedang terbaring di atas ranjang perawatan kelas melati dengan selang-selang yang menopang hidupnya. Nafas wanita paruh baya itu naik turun dengan tenang, seperti sedang tertidur dengan damai, seolah kanker yang dia derita bukanlah sesuatu yang menyakitkan padahal Chelsea jauh lebih tau bahwa ibunya sangat tersiksa.
Tahun-tahun berlalu dengan diagnosa kanker paru-paru tidak lantas menjadikan wanita itu tumbang seketika. Fisiknya masih bugar untuk ukuran perempuan setengah abad. Hanya beberapa lembar uban yang menghiasi rambut legamnya, juga kerut-kerut halus yang muncul karena tergerus usia.
Ibu masih bisa menjaga toko bahan bangunan peninggalan ayah, masih memangkas hama yang menganggu pertumbuhan pohon tomat dan cabai di halaman belakang, masih menepuk kepala Chelsea yang susah tidur karena hujan deras, masih menyanyikan tembang Jawa dengan kacamata baca di kursi malas, lengkap beserta rajutan yang katanya untuk cucu-cucunya nanti.
"Belum ada yang respon, dek?" Suster Dyah mengintip dari balik tirai setelah mengantar makanan untuk pasien kamar sebelah.
"Aku nggak cek ponsel, Suster."
Kekasih dokter Tyo tersebut mengelus rambutnya lembut, tidak banyak yang tau derita yang disimpan Chelsea karena memang gadis itu tidak pernah membaginya dengan siapapun. Kakak-kakaknya sibuk dengan urusan yang semakin menggunung, ibu sibuk dengan setumpuk obat-obatan, meninggalkan Chelsea sendiri tanpa penjelasan, tanpa teman berbagi kisah.
"Makan jangan lupa ya."
"Terima kasih, Suster Dyah."
Ruang perawatan ibu semakin hening, hanya ada titik air yang jatuh dari infus juga suara samar mesin entah apa namanya yang tersambung ke dada ibu yang naik turun.
Matanya berair, melihat bagaimana pulasnya tidur sang ibu, seolah beban yang beliau tanggung selama bertahun-tahun akhirnya bisa disandarkan.
***
"Jeffry pasti sering pulang kok, Bu."
Lelaki itu memeluk ibu dari belakang, menyandarkan kepalanya di pundak sempit yang selalu tangguh untuknya.
"Jeffry janji, setiap bulan pasti bakalan jenguk ibu. Jogja nggak jauh kok, aku bisa pakai travel."
Makan malam disajikan, ketiga adiknya berkerumun di meja, menatap satu persatu makanan yang ibu keluarkan.
"Bu ... nggak banyak yang bisa lolos Universitas Gadjah Mada loh, apalagi aku full beasiswa."
Ibu terduduk di ujung meja, menatap empat pasang mata yang menunggu sepatah kata keluar dari bibirnya.
"Ya sudah, berangkat saja."
Senyumnya terulas begitu lebar, melompat memeluk ibu erat-erat, makan malam hari itu terasa jauh lebih spesial karena si nomor empat, anak tengah keluarga mereka, tidak henti berceloteh tentang bagaimana dia akan belajar dengan giat untuk bisa membantu ibu nanti menyekolahkan adik-adiknya.
Selepas makan malam, Chelsea yang baru berusia delapan tahun kala itu mengintip dari balik pintu kamar. Ibu diam-diam mengeluarkan cincin yang sudah terpasang di jarinya selama yang Chelsea ingat. Sebuah tanda mata dari ayah. Cincin perkawinan.
"Ibu ..."
"Adek, kenapa belum tidur?"
"Nggak bisa ..."
![](https://img.wattpad.com/cover/293274592-288-k272680.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
pulang
Fanfictionseberapa jauh orang bisa melangkah pergi? seberapa lama orang bisa bertahan untuk tidak kembali? pulang menjadi kata asing bagi mereka yang sudah lama melupakan jalan menuju rumah. (c) ganymedeworks