Jeffry menatap sang ibu yang terbaring dengan lelap di dalam peti putih berukir cukup rumit, wajahnya masih seteduh yang dia ingat saat berkunjung kemari beberapa tahun lalu. Bedanya, bibir ibu terlihat pucat dan kering, tidak lagi menyunggingkan senyum manis menyambutnya.
Sudah berapa waktu yang terlewat tanpa melihat perubahan kecil yang terjadi pada fisik ibunya?
Sudah berapa lama dia pergi tanpa menengok ke belakang? Tanda sadar bahwa kesuksesannya sekarang tidak lepas dari doa ibu yang senantiasa melindunginya.
Jeffry menunduk, terisak keras.
"Jeff ..."
Penyesalan memang selalu datang terlambat. Yudhis pun merasakan itu. Dendam dan sakit hati yang tak kunjung sembuh membuatnya enggan menginjakkan kaki ke kampung halaman, ingin membuktikan pada ibu bahwa pilihannya benar, berbalut ego tinggi, akhirnya dia tidak bisa melihat sosok ibunya yang masih bernyawa.
"Bang ..."
"Abang tau perasaan kamu. Abang sangat tau."
Ibu tidak pernah menganggap mereka durkaha, tidak sekalipun. Ibu ... yang hanya bisa menggunakan ponsel biasa, sering mengirimi mereka pesan di saat masih dalam kondisi sehat, masih sering menelepon meski sedikit aneh baginya bercerita melalui sambungan ponsel.
"Ibu pernah bilang, sampai kapanpun, beliau akan selalu bersama kita. Di sini, di hati."
"Aku ... aku nggak tau bang."
Yudhis sangat paham jika mental adiknya terguncang, mereka berdualah pewaris ayah, pemilik ego tertinggi juga gengsi selangit. Bang Jo lebih terbuka meski sedikit canggung, Bang Kavindra pun masih menurut pada titah bang Jo. Sementara tiga terakhir, Mario, Jevan dan Chelsea adalah titisan hati lembut ibu.
Ketiganya lemah dan mudah tersentuh. Berbeda dengan kakak-kakaknya yang jauh lebih keras dan tangguh.
"Cece udah ngasih tau kita dari jauh-jauh hari." Yudhis melanjutkan, duduk di samping Jeffry yang masih memegang pinggiran peti sang ibu, "Kita yang bodoh."
"Kukira, ibu masih punya cukup waktu sampe aku berani bawa Tyana pulang, bang."
"Nyatanya, ibu nggak bisa nunggu kan?"
Padahal, ibu selalu di sana.
Datang lebih cepat saat menjemput mereka pulang sekolah.
Datang lebih dulu saat menghadiri acara-acara yang anaknya lakukan.
Duduk di depan saat mereka memenangkan lomba apapun itu.
Ibu tidak pernah datang terlambat dan selalu menepati janjinya.
"Abang kemarin kirim uang ... biar ibu bisa dirawat lebih baik."
Jeffry mengerang, dia bahkan lupa kapan terakhir mengirimkan sejumlah uang untuk pengobatan sang ibu.
Lahir lebih dulu tidak berarti dirinya lebih dewasa dari Mario dan Jevan yang ditengah kesibukan mereka masih sempat meluangkan waktu untuk pulang.
"Nyesel kan?"
"Iya ..."
"Penyesalan nggak bawa kita kemana-mana." Yudhis mengelus pipi ibunya, menatap wajah yang mewariskan senyum indahnya pada dia dan Kavindra, "Iya, kan ibu?"
"Sekarang ... gimana, bang?" Jeffry memejamkan mata, air mata nggak berhenti turun dari sana.
"Abang juga nggak tau, Jeff. Tapi prioritas kita udah pasti Jeje dan Chelsea, mereka masih butuh biaya untuk sekolah. Kalo Cece, abang nggak tau dia maunya gimana."

KAMU SEDANG MEMBACA
pulang
أدب الهواةseberapa jauh orang bisa melangkah pergi? seberapa lama orang bisa bertahan untuk tidak kembali? pulang menjadi kata asing bagi mereka yang sudah lama melupakan jalan menuju rumah. (c) ganymedeworks