Kepergian ibu bukan hal mudah untuk diterima Chelsea, terlebih mengingat bahwa dirinyalah yang selalu membersamai langkah sang ibu di manapun. Mereka tidak pernah berpisah, bahkan sampai dihembus napas terakhir pun yang beliau cari tetaplah putri satu-satunya.
Tapi, menangisi ibu terus menerus hanya akan menyusahkan jalannya menuju keabadian, suster Dyah bilang, sekarang ibu sudah bahagia, melihat mereka dari Surga bersama ayah dalam pelukan hangat Bapa yang mengawasi mereka dari sana.
"Cutiku udah habis lusa." Kavindra menghela napas, duduk di samping Jovanka yang selama satu minggu ini menghandle semua pekerjaannya dari jarak jauh.
Mereka masih di sini, menemani Chelsea yang jatuh sakit sejak pemakaman ibu, belum lagi Jeffry yang terlihat begitu rapuh dan lemah. Jo tidak mungkin meninggalkan adik-adiknya di saat seperti ini.
"Yaudah pergi aja, biar kakak di sini dulu."
"Kita belum omongin masalah Chelsea, kak."
Oh iya.
Jovanka menarik napas panjang, menutup wajahnya dengan lengan saat kalimat Kavin pelan-pelan mengambil alih semua ruang pikirnya.
Masa depan Chelsea yang sekarang berada di pundak mereka. Si kecil yang tidak mungkin mereka tinggalkan di kota kecil ini sendirian.
"Nanti malam, kakak coba omongin ke yang lain."
Si nomor dua beranjak, menemani Yudhis yang entah melakukan apa di kebun belakang.
***
"Kakak mau bicara."
Meja makan kembali senyap saat Jovanka yang kini menjadi kepala keluarga mereka bergumam pelan, menatap adik-adiknya yang tetap tinggal setelah dia mengeluarkan nada final.
"Che," panggilnya pelan dan halus, menatap Chelsea yang duduk di samping Jevano dengan wajah pucat karena masih demam.
"Ya, Kak?"
"Berat untuk bilang ini," katanya, mengawali. "Tapi kakak harus bisa, cepat atau lambat."
"Masalah aku nanti ikut sama siapa ya kak?" tanyanya tepat pada inti.
Lengan Jevano melingkari bahunya, menarik adik bungsunya dalam dekapan.
"Kamu mau tetap tinggal atau ikut kakak ke Jakarta?"
Chelsea mengangkat kepala, menatap mata keenam kakaknya yang menunggu jawaban.
Si sulung tersenyum kecil di ujung meja, menawarkan rumahnya sebagai tempat singgah selanjutnya.
Kavindra ... ah Chelsea tidak yakin. Si nomor dua terlalu sibuk mengudara bersama burung besinya, tidak mungkin sempat mengurus Chelsea yang pastinya butuh bimbingan selama di ibukota.
Kak Yudhis ... sama saja.
Pria itu akan lebih sering berada di mess atlet ketimbang rumahnya sendiri, atau mungkin kakaknya yang nomor tiga itu belum memiliki rumah sendiri. Chelsea tidak paham.
Keempat ... Kak Jeff ... yang memandangnya penuh harap, di mata pria itu masih tergambar jelas penyesalan yang dalam, melukai hati juga perasaan Chelsea.
Sejahat apapun mereka terhadapnya dan ibu, darah masihlah lebih kental dari air. Chelsea tumbuh bersama mereka, punggung keenamnya melindungi Chelsea dari semua aral melintang yang menghadang langkah kecilnya.
Kelima, Kak Mario, yang paling potensial.
Tapi, mendengar obrolannya bersama Kak Helenina perihal pernikahan membuat Chelsea mengurungkan niat. Dia tidak ingin menjadi penghalang kebahagiaan kakak-kakaknya. Jika memang Kak Mario ingin menikahi Kak Helenina, Chelsea tidak akan melarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
pulang
أدب الهواةseberapa jauh orang bisa melangkah pergi? seberapa lama orang bisa bertahan untuk tidak kembali? pulang menjadi kata asing bagi mereka yang sudah lama melupakan jalan menuju rumah. (c) ganymedeworks