Pagi ini, Jevano sudah mengepak barangnya dalam satu tas ransel agak besar, setelah drama meminjam uang pada Nahila yang berakhir dengan gadis itu memaksa mengantarnya ke stasiun, akhirnya dia pulang juga.
Klakson mobil Nahila sudah terdengar sejak lima menit yang lalu, Jevano mengabari bahwa dia akan keluar sebentar lagi dan gadis itu membalasnya dengan foto dua bungkus bubur ayam yang sering mangkal di dekat kostnya.
Nahila Lituhayu Wiryawan bukan nama asing bagi penghuni fakultas teknik. Perempuan itu menjabat sebagai bendahara umum badan eksekutif mahasiswa. Aktivis yang cemerlang. Berasal dari latar belakang keluarga yang mayoritas berprofesi sebagai pendidik. Ayahnya sendiri—Agung Wiryawan—adalah dekan fakultas teknik sementara ibunya Ayunda Trihapsari adalah professor di fakultas pertanian.
Tidak ada intensi khusus dalam benaknya mengenai kedekatan mereka. Jevano cukup tahu diri untuk tidak menaruh atensi berlebih. Masa depan Nahila jauh lebih gemerlap dengan tawaran beasiswa di berbagai negara dan gadis itu memang pantas mendapatkannya.
"Lama ya?"
"Nggak kok. Kamu sudah sarapan?"
Perhatian kecil yang kadang gadis itu berikan agaknya sulit disangkal, siapa yang tidak tertarik dalam pesonanya yang lugu dan menggemaskan? Tidak ada.
"Belum."
"Makan dulu nanti malah sakit."
Mazda merahnya menorobos jalan yang masih cukup lengang, bercerita tentang rapat kabinet yang berlangsung tadi malam di basecamp BEM fakultas yang tidak sempat Jevano ikuti karena harus menenangkan Chelsea yang menelepon dengan panik.
"Na ..."
"Iya, Je?"
"Kalau semisal nanti seninnya aku nggak pulang, bisa minta tolong urus izinnya ke tata usaha?"
"Bisa, Je. Fokus saja dulu dengan kesehatan mamamu."
Jevano berterima kasih yang sebesar-besarnya atas kepedulian yang gadis ini berikan, meskipun mereka baru saling mengenal dua tahun lalu.
"Keretanya berangkat jam berapa, Je?" tanyanya saat mereka masuk ke Stasiun Senen yang sudah cukup padat di akhir minggu padahal masih terlalu pagi untuk bepergian.
"Jam tujuh lima belas, Na."
Dia mengerling jam tangan yang melingkar di tangan kiri, pukul tujuh tepat, Jevano sudah harus bergegas naik ke gerbong agar tidak berdesakan.
"Nanti sampainya kapan?"
"Jam satu, nanti nyambung naik bus lagi empat puluhan menit lah."
"Kalau pakai pesawat bisa nggak?"
Jevano mengangguk, "Bisa, cuma naik bus lagi. Total perjalanannya sama aja, malah lebih buang duit soalnya tiket mahal. Mendingan pake kereta atau bus. Hemat dan efisien."
Tawa kecil terurai dari bibir gadis itu, Jevano meliriknya sekilas takut tawanya membuat hati semakin berdesir.
"Aku naik ya, Na. Sekali lagi makasih banyak, nanti aku ganti secepatnya."
"Ih, jangan dipikirin. Pokoknya fokus ke ibu dulu. Okay?"
"Iya."
Nahila masih berdiri di sana saat lelaki itu melambai kecil dari jendela buram gerbong kereta, bibirnya tersenyum kecil, mengirimkan doa agar ibu Jevano baik-baik saja.
Sejak ayahnya bercerita tentang seorang pemuda yang sering mengambil tempat duduk paling depan dengan mata penuh binar penasaran. Nahila sudah meletakkan perhatian khusus. Jarang sekali seorang Agung Wiryawan memuji seseorang, terlebih lagi ini mahasiswa baru yang wataknya masih belum dikenali dekat.

KAMU SEDANG MEMBACA
pulang
Fanficseberapa jauh orang bisa melangkah pergi? seberapa lama orang bisa bertahan untuk tidak kembali? pulang menjadi kata asing bagi mereka yang sudah lama melupakan jalan menuju rumah. (c) ganymedeworks