seberapa jauh orang bisa melangkah pergi? seberapa lama orang bisa bertahan untuk tidak kembali?
pulang menjadi kata asing bagi mereka yang sudah lama melupakan jalan menuju rumah.
(c) ganymedeworks
"Iya Jeff, panggilin Bang Kavin, Mario sama Jeje sana."
"AAAAAA IBU, CHEL GIGIT TANGAN AKU LAGI!"
"Bandel sih kamu, siapa suruh narik mangkuk makannya, udah tau Chel galak banget sama makan."
"Ya kan aku cuma penasaran!"
"Sudah, sudah. Mana ayah?"
"Katanya bentar, masih nungguin pembeli terakhir."
"Ibuuu, nanti Yudhis jadi daftar sekolah di sekolahnya Bang Jo kan?"
"Jadi."
"Ibu, Kavin nanti mau sekolahnya jadi pilot."
"Iya, Nak."
"Ibuuu! Mario mau jadi jaksa."
"Emang Mario tau jaksa itu apa?"
"Enggak sih, tapi kereeeen!"
Setetes air mata tanpa sadar sudah membasahi pipi Jovanka saat terbangun subuh itu, jam digital di meja masih menunjuk angka tiga, terlalu dini untuk terbangun namun mimpi masa kecil yang baru saja mengganggu tidurnya membuat pria itu bangkit dari kasur dan mencuci wajah.
Bayangan seorang pria mapan yang kini hidup dengan sangat baik balas menatapnya dari pantulan cermin. Jo menyugar rambut, membiarkan titik air yang belum kering membasahi tangannya.
Ibu dan kisah mereka yang mulai tergores merah saat kecelakaan merenggut nyawa ayah puluhan tahun silam.
Jo tidak pernah mengerti, kenapa mereka menjadi jauh sejak satu persatu mulai menemukan tempat yang nyaman dibanding rumah? Dia sangat tau, adik-adiknya tidak pernah pulang, terbuai gemerlap kota besar yang menelan semua janji manis pada ibu saat ingin merantau.
Kesuksesan yang hadir perlahan membuat mereka lupa bahwa semua bersumber dari satu rumah yang selalu diselimuti doa-doa. Air matanya kembali turun saat menemukan pesan dari Mario yang baru masuk beberapa menit yang lalu.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
***
Kakinya belum menjejak tanah dengan benar saat dering ponsel menginterupsi, sapaan dari awak pesawat dibalas selewat karena nama pemanggil yang tertera dilayar membuat keningnya mengerut, tidak pernah sekalipun si sulung meneleponnya, paling hanya sekadar mengirim pesan, bertanya di kota mana lagi Kavin akan bermalam hari ini.
"Ya, bang?"
"Pulang."
Jo hanya mengatakan itu, tanpa penjelasan tanpa penjabaran. Tapi, Kavindra jauh lebih paham, Jo tidak pernah mengatakan hal-hal tidak penting, jika sampai pria itu menelepon dan tanpa basa-basi, maka situasinya memang segenting ini.