ibu dan adik kecil

1.6K 408 35
                                    

Wanita itu cantik sekali.

Winda bahkan masih bisa melihat sisa-sisa kecantikan di wajah pucatnya yang meski dipenuhi beberapa selang namun tetap tidak bisa menyembunyikan gurat indahnya.

"Ibu udah lama sakit."

Kepalanya menoleh ke belakang, menatap Mario yang masih setia menjaga sang ibu. Saudaranya yang lain pulang ke rumah untuk mandi dan mengambil pakaian ganti, membiarkan Mario bersama Winda di sini.

"Sakit apa?" tanyanya lirih, masih menatap wanita tua yang terlelap dengan tenang di atas ranjang.

"Awalnya sesak aja, tapi membaik setelah dibawa ke dokter. Batuk pun sering cuma ibu bilang nggak ada masalah, minum obat juga sembuh."

Tipikal orang tua yang tidak ingin membuat anaknya khawatir, Winda mengelus punggung tangannya, menaruh simpati yang besar bagi Ibu kekasihnya ini.

"Cuma Chel yang tau lebih jelas, kapan vonis kanker itu tiba. Ibu nggak pernah bilang."

"Kalian sering pulang?"

"Yang jarang kembali itu Bang Jo, Bangk Yudhis Bang Kavin sama Bang Jeffry. Saya dan Jeno kadang berkunjung sesekali."

"Jeffry ... Rasendriya?"

"Mbak kenal?"

Satu anggukan patah dari Winda membuat dada Mario mencelos, kedua kakaknya bahkan lebih peduli pada orang lain daripada keluarga mereka sendiri.

"Dia kekasih sepupu saya."

"Mbak Tyana?"

"Iya."

"Ah ..."

Winda mengulum bibir, rasa bersalah menyesaki dadanya, masih mengingat dengan jelas sosok Jeffry yang tersenyum memikat diacara makan malam mereka tempo hari.

Makan malam yang berlangsung sangat bahagia tapi ternyata ada seorang ibu yang sedang menunggu anaknya di sini.

"Hubungan ibu sama Bang Jeffry dan Bang Yudhis emang rada renggang. Mereka pernah bertengkar, ibu nggak setuju Bang Yudhis keluar dari kampus buat fokus ke bola, ibu bilang selesaikan dulu setidaknya kan abang punya pegangan ijazah nanti kalau udah nggak main bola."

"Tapi, Yudhis nolak?"

Mario mengangguk, "Iya, mereka bertengkar setelahnya. Bang Yudhis bilang, ibu nggak pernah percaya sama cita-citanya, sementara pada anaknya yang lain, ibu ngebebasin buat milih."

Winda tau sekeras apa Yudhis jika sudah menginginkan sesuatu, pria itu adalah sosok yang benar-benar memperjuangkan apa yang sudah dia tetapkan. Di satu sisi, Winda bisa memaklumi sifatnya tapi di sisi lain, Winda menyayangkan kenapa hal-hal seperti itu membuat hubungan keluarga mereka menjauh.

"Setelah itu, nyaris tiap malam, mereka berdebat, konteksnya bahkan sudah di luar masalah utama, Bang Yudhis meledakkan bom atom yang sudah dia simpan bertahun-tahun."

"Abang akhirnya kembali ke Semarang, benar-benar drop out dari kampus tanpa ngasih tau kita. Itu kecewa ibu yang pertama, kecewa selanjutnya datang setelah bang Yudhis dikontrak klub di Surabaya dan pergi tanpa berkabar. Hubungan kita baru membaik setelah Chelsea masuk SMA. Tiga tahun lalu. Itu pun nggak seperti semula."

"Maaf ya, Mario. Maaf untuk luka yang Yudhis gores di hati kamu dan saudara kamu. Mbak menyayangkan sikapnya yang seperti itu, mbak juga kecewa kenapa dia bisa begitu. Tapi, mbak di sini berusaha untuk bersikap netral."

"Iya, ngerti kok. Saya juga cuma cerita kenapa Bang Yudhis masih keras kepala, mungkin sakit hatinya masih tersisa."

Winda menarik napas panjang, berdiri dari kursi di samping ranjang untuk pindah ke sofa, "Saya usahakan membawa Yudhis pulang ya."

pulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang