elegi

1.9K 403 50
                                    

Jevano tidak tau bagaimana menghadapi sedih yang mengguyur, kakaknya tersedu dipojok ruangan, Chelsea tidak henti meneteskan air mata di sisi ibu sementara dia menatap semua itu dari dekat pintu, menerima ucapan belasungkawa dari tetangga, relasi juga teman-teman sekolah mereka dulu.

Peti jenazah ibu masih berada di tengah-tengah ruangan, dikelilingi rangkaian bunga berwarna putih yang membuatnya bercahaya, Surga seperti sedang menyambut salah satu malaikatnya yang sudah berpulang.

"Je," salah satu tetangganya berbisik pelan, "Ada yang cari kamu sama Mas Mario."

"Dimana Om?"

"Di luar, ayo temui dulu."

Jevano menarik napas panjang, berusaha untuk mengisi rongga dadanya yang sesak oleh rasa sakit dengan udara segar untuk mengurangi perihnya.

"Je ..."

Dia tercekat saat sosok Nahila mendekat, perempuan itu memanggul carrier dengan mata meredup, turut berduka atas kehilangan yang Jevan rasakan.

"Hai Na ..."

Pelukan di lehernya membuat Jevan memejamkan mata, rasanya seperti menemukan ruang aman untuk menumpahkan semua beban yang diemban. Nana mengusap punggungnya, membagi kekuatan agar laki-laki dalam peluknya ini bisa jauh lebih tangguh dari sebelumnya.

"Kenalin, ini Kak Nina, temen kantornya Bang Mario."

"Oh ... ayo masuk aja, Abang di dalam."

Langkah mereka dituntun Jevan untuk masuk, menemui satu orang wanita yang sudah tidak bisa menyambut mereka dengan senyum lebar. Nina berjalan di sebelahnya, menggenggam tangan Nahila dengan jemarinya yang dingin.

"Sebentar ya, ku panggil abang dulu."

Nahila mengangguk pelan, berusaha menenangkan Nina yang mendadak tremor.

Ruang duka masih cukup ramai, Nana mengedarkan pandangan ke setiap penjuru, ada beberapa orang sedang duduk bergerombol di bagian belakang sudut, sepertinya teman-teman kakaknya Jevan, ada satu wanita yang duduk di bagian tengah, menatap peti kayu dengan layu, dan yang terakhir Nana lihat adalah seorang gadis kecil dengan mata bengkak sedang mengelus pinggiran peti mati ibunya.

"Itu Chelsea. Adikku yang paling kecil."

Jevan tersenyum kecut, ikut menatap destinasi yang Nahila perhatikan.

"Bang Mario lagi ketemu temennya, Mbak. Duduk dulu, yuk."

Mereka mengambil tempat di dekat wanita berkemeja coklat yang mengulas senyum saat Nana duduk, "Hai mbak," sapanya pelan yang dibalas sama ramahnya.

"Je, aku dan keluarga turut berduka ya."

Entah ini ucapan yang keberapa, Jevano enggan menghitung tapi kehadiran Nahila di sini sudah lebih dari cukup.

Fokus mereka seketika teralih saat mendengar suara ribut dari luar, Jevano melompat ke sana, disusul ketiga perempuan yang berlari dengan panik.

"NGAPAIN PULANG!? PERCUMA!"

Untuk kali pertama, Helenina melihat Mario murka.

"PERGI SANA. IBU NGGAK BUTUH KALIAN."

Di depannya ada dua pria dewasa yang bersimpuh lemah dengan pipi lebam hasil karya anak kelima, mereka menatap sang adik yang memuntahkan semua emosinya.

"Mario ..."

"Sehari aja bang, sehari aja, apa abang nggak bisa luangin waktu buat ketemu ibu?"

Tundukan kepala mereka semakin dalam tatkala Mario menghujam dengan mata tajam.

pulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang