Jo masih terjaga malam itu, tidak peduli lelahnya perjalanan yang menguras waktu juga tenaga. Matanya lekat menatap ibu yang masih tertidur, menyembunyikan lelah dan rindunya dibalik kelopak mata yang layu.
Keempat adiknya tidur di lantai beralas karpet. Jevano memeluk Chelsea, sementara Mario dan Kavin berbagi bantal. Tidak ada yang mau pulang ke rumah. Alhasil, mereka harus bertumpuk di sini layaknya ikan kaleng.
Bersyukur karena Mario sempat memindahkan beliau ke ruang perawatan VIP jadi kamar yang mereka gunakan lebih besar dari kamar lain di rumah sakit ini.
"Ibu ..."
Jo pernah membaca, orang koma tidak benar-benar kehilangan kesadaran. Mereka masih bisa merasakan dan mendengarkan apa yang terjadi di sekitar.
Maka dari itu, Jo menggenggam jemari ibunya erat. Menstimulasi indera sentuhan dengan lembut, berdoa agar ibu segera membuka mata dan menyambutnya dengan senyum kecil yang sama.
"Ibu, Jo baru aja buka studio baru. Sekarang, Jo udah punya tiga studio. Ibu inget nggak? Dulu, pas peresmian studio pertamaku, ibu pernah bilang pengen bikin foto keluarga, kan?" kalimatnya terhenti di sana, mengambil nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Jadi, ibu bangun ya? Kita foto sama-sama."
Kavin tidak benar-benar tidur, dia bisa mendengar semua yang kakaknya bicarakan dengan ibu. Telinganya berfungsi dengan baik, merekam suara Jo yang bergetar menahan isakan.
Pria itu berbalik memunggungi Mario, menghapus air matanya yang sudah merembes. Pelan-pelan, penyesalan mulai tumbuh di sana. Tentang waktu yang terlewati tanpa mengukir lebih banyak kisah manis bersama keluarga.
"Ibu, di sini ada Jo, Kavin, Mario, Jeje dan Cece. Yudhis dan Jeffry masih belum pulang. Ibu bangun yuk, kita seret mereka. Diguyur pake air sungai biar sadar kalau hal yang paling berharga di dunia ini adalah ibu."
Telunjuk dalam genggamannya bergerak pelan, Jo terkesiap menguatkan pegangannya.
"Ibu denger Jo? Ibu ..."
Pelan-pelan kelopak mata itu terbuka, mengerjap lemah menatap langit-langit kamar.
"Dek ... ibu bangun."
Panggilan Jo membuat Mario dan Kavin lebih dulu melompat, bergegas ke samping ibu yang berusaha keras melengkungkan senyum manis.
"Kalian pulang?"
Pertanyaan itu begitu lirih, Kavin mendekatkan telinga, menyimak pertanyaan ibu yang membuat hatinya serasa diremas kuat.
"Iya ... kita di sini, Bu."
Bibir pucatnya berusaha melengkungkan senyum, Mario menahan tangisnya, menyembunyikan sesak yang merambat.
"Ce ..."
Kavin menggoyangkan pundak Chelsea lembut, memintanya untuk bangun, Jevano sudah lebih dulu ke toilet guna membasuh wajah.
"Ibu ..."
Jemari kurus itu dibawa dalam genggaman, Jevano sudah ingin bergerak mencari dokter tapi niat itu diurungkan saat Mario menahannya tetap tinggal.
"Ibu mau apa?"
Gelengan pelan membuat Chelsea berhenti bertanya, gadis itu duduk di samping ibu berhadapan dengan Jo yang juga menggenggam tangan sang ibu.
Tarikan napasnya tersengal, Jevano berpaling tidak ingin menatap ibunya yang kesakitan.
"Jeff ... Yudhis?"
Mario meneguk ludah dengan susah payah, "Lagi dijalan, Bu."
Rasanya Jevano ingin mendaratkan kepalan tangan di wajah sang kakak setidaknya sekali saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
pulang
Fanfictionseberapa jauh orang bisa melangkah pergi? seberapa lama orang bisa bertahan untuk tidak kembali? pulang menjadi kata asing bagi mereka yang sudah lama melupakan jalan menuju rumah. (c) ganymedeworks