"Laporan keuangan macam apa coba ini? Gila, sih, defisit parah begini." Kenanga mendekatkan wajahnya ke MacBook, lalu bersandar pada kursi. "Pantesan Mas Dio nggak mau bantuin. Ini Om Hermawan kerjanya ngapain, sih? Masa Atmojo Konstruksi sampai hancur begitu."
Kenanga mengembuskan napas keras seraya mendongak, menatap langit-langit ruangan. Ia menggoyangkan kursi ke kanan dan kiri. "Kalau udah begini, nih, gue yang pusing mau gaji karyawan pakai apa? Beras sekarung dan ucapan terima kasih? Yang bener aja, Ndro!" Ia mendorong kursi ke belakang, lantas berdiri.
Data absensi semua cabang pasti akan masuk ke e-mail payroll dalam hitungan tujuh hari. Kenanga belum bisa menandatangani pengajuan anggaran gaji karyawan karena keuangan Atmojo Konstruksi Sulawesi yang morat-marit. Sudah pasti cabang lain dan pusat harus memberi subsidi anggaran untuk gaji karyawan Atmojo Konstruksi. Gadis itu beranjak mendekati kaca besar dalam ruangannya. Selama menduduki kursi manajer keuangan pusat, berbagai persoalan telah ia lewati. Hanya saja perusahaan yang dipegang Om Hermawan ini paling parah.
Pemandangan jalanan macet masih lebih baik dibandingkan tampilan layar MacBook. Kenanga mengambil ponsel di kantong blazer. Masih ada When The Flowers Talk yang harus diurus segera. Ruko sudah siap diisi perabotan, tinggal mencari pegawai, promosi, dan pemasok bunga. Selama kuliah di London, ia pernah mengisi kekosongan waktu dengan bekerja paruh waktu di sebuah toko bunga dan magang di sebuah perusahaan. Oleh karena itu, ia punya sedikit tabungan untuk mewujudkan toko bunga impian tanpa suntikan dana Atmojo Group.
Terserah orang mau berkata apa, prinsip Kenanga adalah menjadi bos di toko sendiri. Karena jabatan setinggi apa pun di Atmojo Group, ia tetaplah pegawai. Ketika hendak menghubungi salah satu pemasok bunga yang akan ia tawarkan MoU, suara interkom membuatnya segera menghampiri meja.
"Dengan Kenanga, ada yang bisa dibantu?"
"Mbak, diminta ke ruangan Bapak sekarang," kata Dinda di seberang sana.
"Oke."
Dinda merupakan sekretaris warisan Om Herdian yang kini menjadi sekretaris Dio. Umurnya terpaut tiga tahun di atas Kenanga. Baru saja membuka pintu, Vina muncul bersama muka lesu dan tatanan cepol rambut yang berantakan.
"Mbak, ACC dulu, dong, permohonan divisi marketing," pinta Vina.
Kenanga menunjuk mejanya. "Taruh aja di sana. Saya mau ketemu Pak Dio."
Vina berdecak pasrah. "Mbak, tapi besok udah beres, kan?"
"Taruh aja dulu di sana, ya, Cantik," ucap Kenanga dengan nada lembut, tetapi penuh penekanan.
"Oke, deh."
Mungkin hampir seratus persen karyawan perusahaan setuju, kalau manajer keuangan adalah manusia paling rumit dan pelit. Kenanga terbiasa dimusuhi manajer divisi lain karena perkara menggelontorkan dana, apalagi divisi marketing. Mau bagaimana lagi? Meski perusahaan ini punya nenek moyangnya, dirinya juga pegawai yang harus berhati-hati mengelola dana perusahaan. Ia tidak akan membubuhkan sembarang tanda tangan, namanya bisa dijual di mana saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
When The Flowers Talk ✓
Romance[END] Bagi Kenanga, Cakrawala merupakan tempat bernaungnya bintang-bintang, bukan tempatnya bunga-bunga bermekaran. Karena itu mereka tidak memiliki keterikatan yang cocok sama sekali. Sementara bagi Cakrawala, Kenanga bukanlah sebatas bunga kesayan...