22. Kepada Sebuah Fakta

826 185 48
                                    

Cakra baru saja selesai menyanyikan Indonesia Raya sambil berdiri saat kedua ponselnya bergetar di saku IAD. Kegiatan tersebut masuk ke dalam prosesi yang mutlak dilakukan sebelum memulai rapat. Ia duduk dengan tenang seperti biasa. Di depan sana beberapa staf sedang membantu Kepala Kejaksaan Negeri mencari sebuah file. Layar ponsel hibah kantornya adalah yang pertama kali Cakra tengok. Padahal sebelumnya-sebelumnya ponsel tersebut biasa jadi ganjalan laci meja kerja.

From: Bunga Kenanga
Have a nice day, Mas Dipta 🌻

Ya, tepat sesuai dugaan. Hanya ada satu orang yang kerap mengiriminya pesan di jam-jam seperti ini, ke ponsel hibah kantor pula.

To: Bunga Kenanga
Have a nice day too. Udah sarapan?

From: Bunga Kenanga
Blm :(((
Sarapan, yuk.

To: Bunga Kenanga
Telat ngajaknya.

From: Bunga Kenanga
:((( Emang diajak siapa?

To: Bunga Kenanga
Diajak tukang ketoprak.

From: Bunga Kenanga
:((( Besok aku begal, ah, tukang ketopraknya.

To: Bunga Kenanga
😂

From: Bunga Kenanga
Pelit bgt balesnya, giliran nulis byk. Padahal nulis capek :(((

To: Bunga Kenanga
Blm selesai ngetik 😂

From: Bunga Kenanga
Yauda selesaiin aja dulu ketikannya. Aku dipanggil Mas Dio Herder :(((

To: Bunga Kenanga
Kok, Herder?

From: Bunga Kenanga
Galak banget grgr. Dinda lupa nyetak kontrak. Niko mangkir. Aku blm kelar bikin RAB. Dadah, Mas Dipta :((( Aku harus ke tempat pembantaian harga diri dulu.

Senyum tipis Cakra tersemat hanya karena keluhan-keluhan Kenanga. Ia memasukkan ponsel bersamaan dengan dehaman Kepala Kejaksaaan Negeri yang bak guntur membelah gunung. Hampir dua minggu lebih ia dan Kenanga punya sesi chatting yang cukup intens. Iya, cukup intens apabila dilandaskan sebatas hubungan penjual dan pelanggan.

Cakra seratus persen normal seperti laki-laki pada umumnya, maka jangan salahkan kondisi yang berujung seperti ini. Sudut kepalanya sudah menyalakan alarm kebakaran, tetapi ia terus meyakinkan diri sendiri jikalau besok dirinya akan mengakhiri kebohongan itu. Cakra sangat sadar dan ingat, dirinya bisa terbakar api euforianya sendiri bila terus melangkah lebih jauh. Tidak ada satu pun hal baik yang menyertai sebuah kebohongan.

From: Bunga Kenanga
Hari ini aku mau langit.

To: Bunga Kenanga
Nggak ada yang jual.

From: Bunga Kenanga
🙃 Cepet atau aku teror P, nih.

Cakra berpikir sesaat, lantas membiarkan jarinya mengetik cepat tanpa tetapi.

To: Bunga Kenanga
Tatkala cakrawala senja tiba,
bunga menitipkan asa
Konon, mereka pernah saling mendamba
Walaupun sesempit kemunculan senja
Lantas seketika waktu memaksa
dan mereka berhenti bersapa
Ke mana perginya bunga?
Sebab cakrawala tak butuh senja

Entah sejak kapan Cakra bisa merangkai kata-kata semacam itu. Nilai Ujian Nasional Bahasa Indonesia-nya saja terbentur di angka tujuh. Ia berdecak lantas kembali berkutat pada berkas perkara. Sesudah berhasil menjebloskan Jason Sirait ke Nusakambangan, ia belum bisa bernapas lega. Masih butuh bukti-bukti lain untuk membuat pembunuh berantai itu dihukum mati.

From: Bunga Kenanga
Kan, aku mintanya langit bukan cakrawala.

To: Bunga Kenanga
Sama aja, cuma beda istilah.

When The Flowers Talk ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang