Sabtu sore, Cakra sudah rapi mengenakan kemeja putih dan celana chino cokelat, macam orang yang punya janji kencan. Ia menumbalkan diri ke acara ulang tahun pernikahan salah seorang jaksa senior bernama Rinto Nasution. Sejak pagi ia berusaha berpikir positif, bahwa Pak Rinto adalah tipikal pria romantis yang membahagiakan istri lewat acara semacam ini di umur yang terlalu uzur. Selain memangkas waktu istirahat, bermacet-macetan di jalan pun merupakan bentuk penyiksaan.
Baiklah, Cakra pun salah satu penyumbang kemacetan tersebut. Namun, demi kerahasiaan berkas, ia butuh mobil untuk ke pengadilan. Jam kerjanya pun tak bisa senormal orang pada umumnya. Kadang ia harus mengunjungi kepolisian di larut malam atau ke TKP yang tak terjamah kehidupan, demi mendapat barang bukti lain. Cakra memasang earphone saat panggilan tersambung.
"Asalamualaikum, ada apa, La?"
"Waalaikumsalam, pacar Dila selingkuh huhuhu...."
Cakra mengusap wajah. Ia pikir ada hal genting yang terjadi di rumah. "Tinggalin aja, selingkuh itu penyakit permanen. Dia nggak akan bisa sembuh."
"Tapi Dila sayang, Bang ... huhuhu...."
"Jangan jadi perempuan bodoh. Kamu itu berharga. Kalau dia aja nggak bisa menghargai kamu yang notabenenya masih orang lain, gimana nanti?"
Ini adalah kesekian kalinya Dila merengek soal pacarnya yang berengsek. Kini sang adik terdiam lama di ujung telepon. Cakra berharap adiknya bisa berpikir lebih jernih dalam menghadapi masalah ini.
"Kenapa, sih, laki-laki kayak Abang susah banget dicari?"
"Sekarang lebih baik kamu renungin baik-baik. Abang lagi di jalan."
Dila masih terisak di ujung telepon, tetapi tak lama ia menyahut, "Ya udah, deh, nanti malam aku telepon, ya. Bye, Bang Cakra sayang."
"Sayang kalau ada maunya doang kamu."
Cakra mengarahkan setir ke kiri. Mobilnya memasuki pekarangan sebuah rumah megah. Rangkaian bunga yang bertuliskan happy anniversary to Bapak Rinto dan Ibu Irma Nasution from When The Flowers Talk terpajang di teras.
"Hehehe ... pokoknya Dila sayang Abang!"
"Iya, Abang sayang kamu juga."
"So sweet ...."
Cakra menggeleng diiringi senyum lebar. Panggilan mereka berakhir di sana. Ia keluar mobil, kemudian membuka pintu penumpang, mengambil bingkisan besar khusus dari kantor dan parcel titipan para senior. Pak Rinto sudah jarang pergi ke kantor, pekerjaannya pun diambil alih orang lain. Beliau resmi pensiun tahun depan. Cakra berharap semoga tidak mati kebosanan di tengah-tengah perkumpulan bapak-bapak lanjut usia.
***
Kenanga masih setia menampilkan senyum lima jari. Giginya sekarang kering akibat diterpa AC.
Obrolan para wanita Adhyaksa Dharmakarini sama saja dengan obrolan ibu-ibu kompleks di depan tukang sayur kesayangan. Mulai dari suami, anak, cucu, tetangga sebelah, model kebaya terbaru, tempat bros berkualitas, dan lain-lain. Namun, demi menjaga kerja sama yang terjalin, gadis itu rela-rela saja hadir di acara ulang tahun pernikahan Bu Irma. Ia bahkan meminta dua abang sepupu paling setia mengantarnya kemari, karena tiba-tiba malas membawa mobil. Kebetulan sekali Dio dan Juniko hendak pergi mengunjungi galeri milik Daniel Adhitama katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When The Flowers Talk ✓
Romance[END] Bagi Kenanga, Cakrawala merupakan tempat bernaungnya bintang-bintang, bukan tempatnya bunga-bunga bermekaran. Karena itu mereka tidak memiliki keterikatan yang cocok sama sekali. Sementara bagi Cakrawala, Kenanga bukanlah sebatas bunga kesayan...