Cakra menyandarkan punggung, sebelah tangannya menggenggam setir. Ia menatap lekat minimarket bersama pertanyaan yang bak angin puting beliung. Berputar hebat di atas kepalanya. Apa Cakra terobos saja pintu itu? Namun, apakah Kenanga yang ia pikirkan dan Dio bicarakan adalah orang yang sama? Kalau bukan, berarti kebodohannya semakin parah.
Kalau benar sama, terus gue mau ngapain?
Getar ponsel menghentikan monolog Cakra. Nama Dila tertera di layarnya. Ia memijat-mijat pelipis. Bukan tidak ingin mengangkat, hanya saja telepon dari Dila biasanya melibatkan pertanyaan-pertanyaan semacam kapan pulang dan kapan bawa calon istri oleh ibunya.
"Halo, Assalamualaikum."
"Walaikumsalam, Uda dima kini? Ama mananyo Uda se taruih," sembur Dila di ujung telepon dengan suara tengah menahan kesal. (Walaikumsalam, Abang lagi di mana? Ibu nanyain Abang terus nih)
"Uda baru pulang karajo. Yolah, Dila agiahan HP ka Ama. Uda nak mangecek sabanta." (Abang baru pulang kerja. Ya sudah, Dila kasih HP-nya ke Ibu. Abang mau bicara sebentar)
Terdengar suara Dila yang memberi tahu Ibu bahwa Cakra ingin bicara. Sejak menempuh S-1, S-2, sampai lulus pendidikan jaksa, ia selalu pulang di menjelang hari kelulusan untuk menjemput ibunya. Bukan apa-apa, pulang ke tanah Minangkabau tentu saja butuh merogoh kocek lumayan dalam. Sebagai pejuang di tanah rantau, ketika pulang ke kampung halaman dengan tangan kosong itu rasanya seperti membawa aib. Kurang lebih pandangan masyarakat di kampungnya tentang seorang perantau yang pulang ke kampung halaman pastinya adalah orang-orang yang sudah sukses.
"Halo, Cakra. Baa kaba? Lai sehat se?" (Halo, Cakra? Gimana kabarnya, sehat 'kan?)
"Alhamdulillah, lai sehat se. Ama baa kaba?" (Alhamdulillah, sehat. Kabar ibu gimana?)
"Ama sehat, cuma takana Cakra se." Terdengar helaan napas Ibu. "Baa kok dak amuah pulang? Apo ka jadi Malin Kundang?" (Ibu sehat, cuma kangen Cakra aja. Kenapa sih enggak mau pulang? Mau jadi Malin Kundang?)
Senyum Cakra mengembang. Sering kali rengekan ibunya menjadi pewarna di ujung hari yang penat.
"Bukan dak amuah pulang, Ma. Cakra pasti pulang, Ama dak usah cameh." (Bukan enggak mau pulang, Bu. Cakra pasti pulang, Ibu jangan khawatir)
"Bilo? Cakra jan bajanji-janji taruih. Kalau umua Ama dak panjang. Baa lai?" (Kapan? Cakra jangan janji-janji terus. Kalau umur Ibu ternyata enggak panjang. Gimana?)
KAMU SEDANG MEMBACA
When The Flowers Talk ✓
Romansa[END] Bagi Kenanga, Cakrawala merupakan tempat bernaungnya bintang-bintang, bukan tempatnya bunga-bunga bermekaran. Karena itu mereka tidak memiliki keterikatan yang cocok sama sekali. Sementara bagi Cakrawala, Kenanga bukanlah sebatas bunga kesayan...