"Kenanga, cita-cita kamu apa?" tanya Cakra pada pertemuan pertama mereka di ruang tamu rumah Kenanga sebagai guru les privat dan calon muridnya.
"Punya keluarga harmonis yang bahagia."
Jawaban itu membuat senyum Cakra melebar tanpa diminta. Gadis bertubuh mungil, berpipi gembil, dan berponi mangkuk di seberang sana ternyata lucu juga.
"Serius, Kak, tapi ada tugas mulia, sih, dari Papa," lanjut Kenanga sambil tertawa. "Katanya aku cocok jadi manajer keuangan Atmojo Group. Aku memang tertarik sama manajemen, akuntansi, dan bisnis, sih. Jadi, ya ... aku bakal ikut kata Papa."
Cakra mengangguk-angguk. "Cocok, kok."
"Cocok apanya, nih, Kak?" Kenanga bertanya dengan mata berkedip-kedip dan senyum melebar.
"Cocok jadi manajer keuangan."
"Oh ... kirain cocok yang lain."
Gadis itu langsung menutup bibir dengan sebelah tangan. Matanya melirik ke kanan dan kiri. Sementara Cakra hanya tersenyum sewajarnya sambil menarik napas. Ia berdoa dalam hati semoga saja tujuan awalnya tidak berantakan.
"Ma, Kenanga ngapain dikasih guru cowok, sih? Tukang rujak aja digombalin, apalagi gurunya!"
Kenanga seketika memelesat ke depan pintu karena teriakan tersebut. "Mas Rendra, tuh, Ma! Masa berangkat kuliah nggak pernah mandi! DASAR WEDUS GEMBEL!" teriaknya sambil berkacak pinggang.
Senyum, tingkah konyol, dan suaranya. Cakra sulit melupakan itu semua. Mau bagaimana lagi? Nama gadis itu saja bagian dari kenangan tanpa huruf n di ujung kata. Ia mendongak, meneliti rembulan yang pernah menemani mereka jalan berdua di trotoar.
Bulannya masih sama, Ke. Sayangnya kita udah nggak.
Cakra menyesap kopi dari paper cup-nya. Jalan raya di depan minimarket masih ramai lancar. Ia tidak begitu suka minum kopi di kafe, terlalu ramai untuk sekadar melepas kerumitan isi kepala.
Besok Dea akan menjalani sidang skripsi, sedangkan Dila masih mengurusi judul skripsi. Agak sedikit melegakan bahwa ia bisa membiayai dua adik perempuannya sampai ke jenjang sarjana. Hanya saja tugas Cakra belum selesai sampai di sana. Sebagai satu-satunya kakak laki-laki sekaligus tulang punggung keluarga, ia wajib menjabat tangan siapa pun laki-laki yang akan menjadi calon suami adik-adiknya di depan penghulu.
"Boleh numpang duduk di sini, Mas?"
Laki-laki berkemeja putih dan celana hitam menghampirinya. Ada kesamaan di antara mereka, yakni sandal jepit Swallow bertali hijau.
"Silakan, Mas," sahut Cakra.
Setelah duduk, laki-laki itu menggeser sebungkus Sampoerna Mild sekaligus pemantik. "Rokok."
"Makasih, lagi puasa."
Laki-laki itu langsung tertawa. "Sama kalau gitu."
Cakra mengernyit, tawa laki-laki itu menularinya. Ia meletakkan paper cup sambil bertanya, "Lagi nunggu istri?"
KAMU SEDANG MEMBACA
When The Flowers Talk ✓
Romance[END] Bagi Kenanga, Cakrawala merupakan tempat bernaungnya bintang-bintang, bukan tempatnya bunga-bunga bermekaran. Karena itu mereka tidak memiliki keterikatan yang cocok sama sekali. Sementara bagi Cakrawala, Kenanga bukanlah sebatas bunga kesayan...