Cakra tahu apa yang akan dia lakukan sama saja dengan meluluhlantakkan prinsipnya. Terhitung sudah dua kali ia mengingkari janji terhadap ibunya untuk tidak menyentuh anak gadis orang secara berlebihan.
Ya, dia bukan lagi remaja tanggung, tetapi anak gadis orang bisa diibaratkan piring antik mahal. Bilamana Cakra punya nyali memecahkannya, niscaya kiamat dunia segera menghampiri.
Di antara berbagai macam pertimbangan yang sia-sia, Cakra menyentuh tangan Kenanga, meraihnya, menariknya ke dalam ritme pelan. Mungkin inilah sebabnya kenapa Ibu selalu memintanya berjanji untuk tidak menyentuh anak gadis orang secara berlebihan, telapak tangan Kenanga saja bahkan lebih lembut dibanding baju serta seragam di lemari.
Ketika tubuh mungil itu jatuh ke pelukannya, aroma parfum yang tercium begitu menenangkan. Mirip alunan lagu pengantar tidur. Berbanding terbalik dengan degup jantungnya. Sembari menyingkirkan suara nyaring alarm di kepala, ia mengeratkan pelukan yang mungkin akan sangat singkat untuk kesalahpahaman yang terlewat.
"Makasih, Kak Cakra ... makasih untuk segalanya dan maaf karena aku-"
"Makasih juga untuk segalanya, Ke," potong Cakra yang membenamkan hidungnya ke helaian rambut Kenanga. "Aku belum sempat bilang ini ke kamu dulu."
Kenanga menggeleng cepat. "Kebodohan aku yang bikin kita berantakan. Aku nggak habis pikir kalau Papa pakai cara kayak gitu. Kak, aku tahu ini kelihatan nggak tahu diri banget, tapi tolong maafin Papa, ya? Tolong maafin Papa ...."
Saat Kenanga ingin menarik diri, laki-laki itu menahan punggungnya hingga ia kembali terperangkap di sana. Ia terpejam sesaat, menikmati irama detak jantung laki-laki itu di telinganya. Kalau bisa, dirinya ingin mendengar irama ini sebelum terlelap di malam hari. Kalau bisa. Damai layaknya suara rintik hujan yang menyambut di suatu pagi.
"Ssst ... udah, Ke ... aku baik-baik aja. Papa kamu berhak melakukan apa pun untuk melindungi anak gadisnya."
"Kamu beneran nggak pernah punya rasa benci sedikit pun seumur hidup, ya?" tanya Kenanga usai melepaskan diri, menatap lekat laki-laki itu, ingin memastikan sekali lagi jikalau apa yang ia dengar bukan sekadar kalimat menenangkan.
Cakra tersenyum kecil, lalu merapikan sisa rambut yang menutupi dahi Kenanga. "Menyimpan rasa benci itu cuma menimbulkan penyakit, Ke. Aku nggak mau jadi laki-laki penyakitan."
Ya, Kenanga paham doa apa yang tersimpan dalam nama laki-laki itu. Cakrawala, hati dan pikirannya benar-benar seluas hamparan langit. Gadis itu menunduk karena merasa sangat malu. Kemarin, ia sudah jadi perempuan penyakitan. Ia membenci untuk sebuah kesia-siaan.
"Mau susu cokelat atau teh manis?" Cakra menyentuh dagu gadis yang tiba-tiba saja menunduk.
"Kalau amerikano?"
Cakra menyeringai sembari mengarahkan dagu ke jalanan. "Beli di kafe sebelah."
Tanpa butuh 60 menit penuh, mereka berdua tertawa seakan-akan apa yang terlewat kemarin sebatas angin lalu. Cakra lupa kalau pernah disamakan dengan sampah. Kenanga pun lupa kalau kemarin hampir membusuk di penjara. Rasa sakit mereka sama-sama terangkat separuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
When The Flowers Talk ✓
Romantik[END] Bagi Kenanga, Cakrawala merupakan tempat bernaungnya bintang-bintang, bukan tempatnya bunga-bunga bermekaran. Karena itu mereka tidak memiliki keterikatan yang cocok sama sekali. Sementara bagi Cakrawala, Kenanga bukanlah sebatas bunga kesayan...