30. Tentang Monolog Kita

809 177 30
                                    

Halo, maaf ya baru update. Semoga masih ada yang nunggu ❤️ oh ya sebelum baca bab ini harap tarik napas dalam-dalam dulu ya. Bacanya pelan-pelan aja 😊

.

Cakra meraba permukaan kertas origami buatan Bianca yang polisi temukan di Loker Harapan sambil berpikir keras. Ada keganjilan pada serat kertas tersebut. Kemudian ia membereskan si kertas-kertas dan berniat membawanya ke suatu tempat. Namun, gerakannya terhenti tatkala pintu ruang terbuka tanpa suara ketukan.

Pak Adam tampil bersama sejumlah kerutan di dahi. Beliau mengunci pintu ruangan sebelum menghampirinya yang masih terpaku berdiri.

"Pak Rinto bilang, tahanan itu perempuan yang kamu suka. Benar itu?"

Pertanyaan tersebut bagai perekat yang membungkam Cakra. Ia tahu cepat atau lambat fakta itu pasti terungkap. Karena Pak Rinto dan istri menjalani pemeriksaan juga. Ah, padahal ia belum melangkah begitu jauh dalam penyelidikan kasus kematian Bianca Darmawangsa.

"Kenapa kamu terima kasus ini, Mas?" tanya Pak Adam lagi sebab Cakra tak juga menjawab. "Jangan libatkan cinta dengan tugas negara."

"Ini bukan soal cinta, Pak."

"Lantas apa?"

Cakra tetap berdiri tegap, tetapi menunduk dalam-dalam. Ia jadi merasa dimarahi ayahnya sendiri.

"Kepala jaksa yang menunjuk saya, lantas bagaimana lagi saya harus mempertanggungjawabkan tugas saya? Apa saya harus jujur kalau dia mantan kekasih saya sebagai alasannya? Bapak yakin itu nggak terlihat seperti alasan konyol?" Cakra menarik napas, lalu mengangkat kepala. "Dia cuma mantan kekasih saya semasa kuliah, Pak. Dia bukan istri saya, dia bukan anggota keluarga saya."

"Kamu pasti tahu risikonya!" bisik Pak Adam keras sambil menunjuk dada kiri Cakra. "Ini bukan persoalan main-main, ini kasus pembunuhan, Mas Cakra!"

Tentu saja Cakra masih ingat dampak risiko bermain-main dengan pasal. Minimal jabatannya dicabut, maksimal masuk penjara. Namun, sekali lagi, mana mungkin ia berkata secara terang-terangan kepada Kepala Jaksa kalau gadis itu—ralat, lebih tepatnya tahanan itu adalah mantan kekasihnya. Iya, kan?

"Kalau Bapak berpikir saya akan membebaskan dia dari jerat hukum karena dia mantan kekasih saya, saya pasti sudah melakukan itu sejak kemarin, Pak." Cakra menatap pria yang 12 tahun lebih tua darinya tanpa gentar. Kedua tangan di sisi tubuhnya pun terkepal kuat. "Kenyataannya, saya tetap melaksanakan tugas."

"Tapi kamu sedang mencari cara membebaskannya, kan?" Pak Adam menunjuk kertas-kertas origami di meja Cakra. "Sekarang saya tanya, apa tugas fungsional kamu di kejaksaan?"

"Pak, saya hanya mencari kebenaran fakta," sanggah Cakra. "Jangan sampai kita menjebloskan orang yang tidak bersalah. Bapak pun tahu kalau hasil lab semua botol minuman di florist itu tidak mengandung sianida."

"Dan kamu juga tahu, kalau sianida bisa bekerja tanpa perantara makanan atau minuman sekalipun," tukas Pak Adam. "Saya tanya sekali lagi, apa tugas fungsional kamu di kejaksaan?"

Mereka saling berpandangan, tetapi membisu cukup lama. Cakra mengerti kenapa Pak Adam bersikap begini. Mereka pernah berjuang bersama dalam dua perkara berat. Ia mengenal baik pria itu. Kalau boleh jujur, beliau merupakan sosok yang mengisi kehausannya akan nasihat seorang ayah. Pria itu pun sosok yang menginspirasi baginya selama bergabung dengan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Pak Adam menghela napas diiringi raut kekecewaan. "Tadinya saya pikir kamu jaksa muda yang bisa negara kita andalkan, Mas," gumamnya.

"Saya tidak akan membelokkan fakta di depan hakim. Bapak bisa pegang ucapan saya hari ini."

When The Flowers Talk ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang