19. Kepada Bunga Kenanga

835 187 39
                                    

"Maaf ... aku nggak bermaksud lancang, kupikir ...."

Kenanga menutup wajahnya dengan kedua tangan. Bagaimana bisa ia berpikir kalau laki-laki yang berdiri di hadapannya adalah Cakrawala Pradipta? Nyatanya semua kebetulan ini hanyalah sebatas kebetulan. Bagaimana bisa hatinya sempat berkhianat? Sempat berharap kalau yang ada di balik masker itu adalah benar-benar laki-laki itu. Sekarang ia merasa lega sekaligus patah di waktu yang sama.

Mengapa demikian? Kenanga benci situasi semacam ini.

"Kupikir Mas Dipta ...." Kenanga berusaha mengenyahkan sesak yang menjalar. Ia memalingkan wajah mengatur napas, serta mengontrol air mata yang tak kunjung berhenti mengalir.

Kamu benar ... ini aku, Ke.

Cakra menjulurkan sebelah tangan. Ia mengusap air mata yang hendak membanjiri pipi Kenanga. Gerakan tersebut membuat atensi gadis itu kembali padanya. Lagi-lagi dia menangis karenanya. Ia tidak berani memprediksi apa yang akan terjadi setelah malam ini. Gadis itu pasti sedang membantah kata hati kecilnya sendiri di tengah kekalutan. Tindakan refleks tadi adalah bukti nyata.

Maaf, aku bikin kamu nangis lagi, Ke.

Cakra merasa lega sekaligus terbunuh di waktu yang sama. Lega karena Kenanga tidak melupakan apa yang mereka lalui. Namun, terbunuh oleh kebohongannya sendiri. Hanya untuk menyeka air mata gadis itu saja, ia harus bersembunyi di balik topeng Dipta.

Ini adalah kali pertama Cakra memanfaatkan legitimasi yang ia punya. Seusai melakukan penyelidikan bersama Rudy, ia sengaja tidak melepas topeng penyamaran. Ada beberapa kasus serta penyelidikan yang mengharuskannya melepas identitas asli sebagai jaksa. Hal ini merupakan salah satu rahasia besar kejaksaan dan ia menyalahgunakannya.

Cakra sempat berkecimpung dalam tim penyidik kejaksaan sebelum berprofesi sebagai jaksa. Oleh karena itu, perkara identitas aspal dan topeng penyamaran sebenarnya bukanlah hal tabu. Ia sudah memastikan ini adalah yang terakhir kali. Tidak akan ada lagi Dipta si tunawicara. Sebab hal itu tak akan mengubah apa pun. Kemarin-kemarin ia hanya ingin menemui Kenanga tanpa perseteruan, tanpa menyangka kalau akan sepanjang ini.

"Mas Dipta ...."

Suara serak itu menyadarkan Cakra. Ia langsung menarik tangannya dari pipi Kenanga.

"Maaf, aku kira Mas itu mantanku. Karena kalian punya beberapa kemiripan." Kenanga tersenyum perih, lalu meneguk ludah. "Dia ... ya ... dia punya dampak yang sebesar ini buatku. Sekali lagi, aku minta maaf." Ia menggigit bibir dan bulir hangat itu lolos lagi.

Cakra mengeratkan kepalan tangan di samping tubuh. Sudah cukup sekali saja membiarkan Dipta menyeka air mata Kenanga.

"Mungkin karena kami nggak pernah benar-benar saling mengakhiri. Jadi ... jadi rasa itu masih belum berakhir ...." Kenanga mendongak, menatap langit-langit florist sambil mengatur napas. "Nggak, aku nggak mau memberi dia kesempatan apa pun. Percuma, kami nggak memiliki alasan apa pun juga untuk kembali."

Ternyata mencintai Cakrawala Pradipta sama seperti terjebak di sebuah labirin paling rumit. Selalu ada jalan, tetapi tidak berujung. Tetap bisa menatap indahnya langit biru, tetapi tanpa sadar ia bisa saja mati karena tidak ada apa pun selain jalan dan lorong.

"Mas Dipta, pulang, yuk!" ajak Kenanga.

Pulang ke mana? Kamu, kan, rumahku, Kenanga.

Gadis berambut sebahu itu mengulurkan tangan, tetapi Cakra bergeming. Hidung gadis itu merah, jejak air mata pun masih terlihat. Namun, senyumnya melebar sempurna. Kalau ia tidak memakai topeng penyamaran, Kenanga pasti berakhir di acara Pak Rinto.

Kenapa Kenanga bisa semudah itu menerima sosok Dipta yang notabene pelanggan absurd dan orang lain? Karena tak kunjung bergerak, gadis itu menarik tangannya lagi.

When The Flowers Talk ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang