21. Kepada Sebuah Jalan

758 182 67
                                    

"Kenapa, Cak?" tanya Jefri.

Sewaktu makan bersama Kenanga, ia sempat menghubungi Jefri yang kebetulan sedang di jalan dan tidak jauh dari area rumah Haris Cokroatmojo. Ia pun batal mengantar gadis itu sampai pintu rumah karena Jefri sudah berada sekitar sepuluh meter dari rumah Kenanga.

"Gue lupa, tadi langsung nganter Kenanga ke rumahnya nggak pakai nanya," jelas Cakra yang masih mengernyit pada layar ponsel.

"Terus?"

"Dia nanya gue tahu dari mana dan gue siapa."

Jefri memutar setir sambil bersiul. "Berarti besok bodyguard bapaknya nyariin lo?"

"Gue bilang, dia udah cerita di mobil, mungkin dia aja yang lupa." Cakra melirik sekilas kawan yang memberikan tumpangan malam ini. "Kayaknya dia percaya, soalnya langsung bilang 'Good night, Mas Dipta, hati-hati di jalan, ya.'"

"Nah, terus?" pancing Jefri. Sekarang dia dalam mode mengeringkan gigi lewat AC mobil.

"Ya, gue balas 'Good night, Kenanga. Iya, saya hati-hati.'"

"Lo berdua bener-bener gokil!" Jefri tertawa lepas sambil memukul-mukul setir. Seperti yang ia duga, jika wajah Cakra baik-baik saja saat menceritakan hal genting. Tandanya sahabatnya itu sudah punya seribu solusi dan sejuta alibi. "Gimana, tuh, kabar Kenanga? Masih suka gombalin tukang rujak? Gue sama anak-anak kosan kangen ditraktir bakso segerobak plus abang-abangnya."

Cakra membuka aplikasi perpesanan, kemudian menekan foto profil Kenanga. "Sekarang dia makin cantik."

Jefri melirik dengan tatapan horor. Bukan apa-apa, sahabat karibnya itu tidak pernah memuji perempuan secara terang-terangan. Ia pun bergidik tatkala menemukan senyum lebar Cakra ditambah pandangan yang menerawang ke awang-awang.

"Cak, eling, Cak!" Jefri menjentikkan jari di depan wajah Cakra tiga kali. Sang sahabat karib masih setia menatap layar ponsel.

"Matanya ... matanya cantik, Jef," ucap Cakra lirih tanpa beralih dari layar ponsel.

"Waduh ...." Jefri menggeleng dramatis, menatap nanar jalanan yang kosong melompong. "Ini sih lebih parah dibanding Mamas Dion penyakitnya."

"Gue suka lihat dia pakai kardigan cokelat." Cakra berpikir sesaat, lalu bayang-bayang Kenanga muncul lagi. "Ralat, gue suka semua."

"Cak?" Jefri kini melambaikan tangan di depan wajah Cakra. "Sadar, Man!"

Tersadar akan sesuatu yang salah, Cakra mengangkat kepala. "Jef, menurut lo Kenanga bakal—"

"Gue seratus persen yakin dia bisa jatuh untuk kedua kalinya kalau lo nggak berhenti. Karena apa? Kalian sama-sama buka pintu, Cak," sela Jefri. Ia melirik Cakra yang tengah berpikir keras. "Satu pesan gue sama Dion, lo jangan maksa kayak artis-artis yang nikah, tapi tetap beda keyakinan. Gue harap kemungkinan gila ini nggak pernah terjadi. Gue tahu, lo bisa bikin Dipta benar-benar ada. Itu hal gampang buat kita, tapi lo harus ingat kata dosen di zaman dahulu kala. Jangan gunain jabatan sama pangkat buat urusan perempuan."

"Gue nggak kayak gitu, Jef."

Cakra menghela napas seraya masukkan ponsel ke saku hoodie. Langit di luar sana tampak lebih suram dibanding raut wajahnya. Bunga Kenanga Cokroatmojo. Kenapa nama gadis itu sulit sekali luput dari memori? Kenapa juga mereka selalu dipertemukan di satu jalan, tetapi tidak untuk menyusurinya bersama-sama? Ada apa dengan takdir?

Ah, lama-lama segala tentang Kenanga membuat logika Cakra lumpuh.

***

"Dut, ini ada undangan dari Anye, gue lupa ngasih."

When The Flowers Talk ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang