10 - Phone Number

141 18 0
                                    

Potongan dialog yang terus berputar di memori Kageyama membuatnya tak bisa tidur sampai berganti hari. Tidak peduli akan dianggap aneh atau gila, yang pasti ia takut oleh jawaban yang nanti ia dapat. Semalaman otaknya digunakan untuk memikirkan itu. Hasilnya, sekarang ia masih berada di atas ranjang dengan mata yang terpejam.

"Hei, kau masih ingin tidur?" Lyra menusuk pelan pipi lelaki yang tidur di ranjangnya. Dirinya cukup kasihan melihat Kageyama yang terus-terusan tidur di sofa, jadi tadi malam ia menyuruh Kageyama untuk tidur di sisinya, tentunya dengan sebuah bantal sebagai pembatas.

"Kageyama?" panggilnya sekali lagi, dan masih tak ada jawaban. Lyra memilih untuk berhenti membangunkan Kageyama. Sepertinya temannya itu memang butuh tidur sebelum bekerja keras pada malam hari. Ditambah besok adalah hari ujian pertama mereka.

Ia ikut meletakkan kepalanya di atas bantal, berhadapan langsung dengan muka Kageyama. Melihat orang di depannya tidur dengan pulas, membuatnya sedikit iri. Matanya susah untuk terpejam, juga mudah untuk terbuka.

Indranya menelusuri tiap senti dari wajah lelaki yang sedang terlelap seranjang dengannya. Sorot matanya mulai turun, memperhatikan celah di antara kedua tangan orang itu yang kosong. Sepintas pikiran absurd merasuki otaknya, ia ingin menyelundup dan berada di tengah-tengah dua lengan yang tampak hangat.

Tapi gadis itu masih tau diri dengan statusnya sebagai teman. Namun jika dipikir-pikir, mereka sudah sering berpelukan walaupun hanya teman. Ia mendengus pelan, hatinya bimbang. Matanya kembali melirik sebentar, lalu sedetik kemudian ia menggelengkan kepalanya dan bangun dari posisi tidurnya.

Aku akan sama anehnya bila tiba-tiba memeluk dia, batinnya.

Tiba-tiba terdengar suara lenguhan kecil dari seorang pria. Akhirnya, Kageyama bangun, walaupun masih dalam keadaan setengah sadar.

"Selamat siang," sapa Lyra.

"Siang juga— Tunggu, ini jam berapa?" tanya Kageyama.

"Jam sepuluh," jawab orang yang ditanya, membuat sang penanya buru-buru menghidupkan ponselnya. Ia melihat tanggal yang tertera di sana dan menghela napas lega.

"Ada apa?" tanya Lyra bingung.

"Hari ini orang tuaku tidak ada di rumah, jadi aman jika aku pulang agak nanti."

"Kau mau di sini sampai kapan?"

"Entah, aku bosan di rumah." Kageyama beranjak dari kasur dan menuju kamar mandi. "Aku mandi dulu," ucapnya sebelum menutup pintu rapat.

Kageyama membuka kaosnya, menampakkan pahatan otot yang sempurna di setiap bagian tubuhnya, terutama lengan dan perut. Ia melihat singkat pantulan wajahnya sendiri lewat cermin, sebelum menanggalkan semua kain yang tersisa. Kakinya melangkah masuk ke dalam shower box dan menarik keran berlabel biru serta merah bersamaan.

Setelah membersihkan dirinya dengan sampo dan sabun, ia mulai menikmati hangatnya air yang mengucur deras. Bibirnya terukir senyum tipis yang jarang sekali terlihat. Akhir-akhir ini hatinya seperti musim semi, banyak bunga bermekaran di sana. Tentu tidak ada yang boleh memetiknya, kecuali Lyra.

Lelaki itu terlalu larut dalam imajinasinya, sampai tidak terasa sudah setengah jam berdiam diri. Segera, ia mengambil handuk yang tergantung di gagang pintu dan mengelap sisa-sisa air di permukaan kulitnya.

"Kau lama sekali," celetuk Lyra sesaat setelah Kageyama keluar dari kamar mandi, tentunya dengan pakaian lengkap.

"Airnya segar," jawab Kageyama dengan asal.

Lyra melihat Kageyama yang masih terus mengusakkan handuk pada surai gelapnya sambil menonton televisi yang sedang menayangkan berita terkini. Sungguh membosankan, ia tidak punya kegiatan lain.

Milk | Kageyama TobioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang