Part 1. Heartbreaker

475 52 60
                                    


***

Pengenku siji,
Nyanding kowe selawase
Ra ono wong liyo
Sing isoh misahake
Cukup sliramu gawe atiku tenang
Ra bakal ilang
Mergo kowe sing tak sayang

***

Keinginanku hanya satu,
Bersama denganmu selamanya.
Tidak ada orang lain
Yang dapat memisahkan
Hanya dirimu
yang membuat hatiku tenang
Tidak akan hilang
Karena kamu yang ku sayang

***

"Sahla, aku pernah tergila-gila, menjadikan lagu 'aku tenang' favorit kita, sebagai pengungkap dalamnya rasaku untukmu. Dan kau pun, selalu mengatakan jika rasamu sama atasku. Tapi, nyatanya kamu melepas tanganku dan memilih menggengam tangannya. Pergi dari hidupku, selamanya. Meninggalkan semua harapan yang pernah kita langitkan. Meski begitu, lagu ini tetap ku dendangkan. Meski kini ku nyanyikan dengan iring isak tangisan."

***


Suara decit sepatu terdengar, beberapa kali, pemuda dengan rambut dikuncir, mengarahkan tendangan ke gawang. Sementara rekannya menghalau.

"Gila lu, selow dong selow," teriak Raihan, sang kiper.

Maul menghujani Raihan dengan beberapa tendangan dari bola yang berada di keranjang dekatnya.

"Ul! Jangan gila Ul! sabar we!" protes Raihan.

Si empunya nama menulikan rungu. Ia terus saja menendang bola dengan keras. Hingga di bola ke lima belas ia berhenti karena tak ada lagi bola tersisa. Sementara Raihan, sudah melarikan diri dari gawang.

"Kampret si Maul, muka gue jadi sasaran."

Kekehan sang pelatih membuat Raihan semakin kesal.

"Maklum, lagi patah hati. Ditinggal rabi," kekeh Ken.

"Gue jadi ngerasa bersalah Bang, dulu gue yang nyaranin dia buat nggak jadi nikahin Sahla. Gue nggak nyangka Maul secinta itu sama Sahla."

Ken, pria bermata sipit berdarah tionghoa itu tersenyum.

"Ya namanya hati, siapa yang tahu seberapa dalamnya. Nggak ada alat hatimeter."

"Bisa ae lu, Bang."

Obrolan keduanya terhenti saat suara tiang gawang berdentang keras terkena tendangan bola Maul. Pemuda itu kini menjatuhkan diri di tengah lapangan.

Berbaring dengan peluh mengucur di pelipisnya. Dadanya naik turun terengah.

"Apa boleh aku minta hentikan detak jantungku saat ini juga? Sudah tidak ada lagi alasan untuk jantungku berdetak lagi. Aku sudah kehilangan dia. Pemicu detak jantungku."

Maul menutup matanya. Perlahan dari sudut matanya, air itu mengalir, bercampur peluh.

"Aku salah langkah."

Satu hela menjeda pikirannya.

"Dan kini aku mati langkah."

Masih teringat jelas ketika setahun lalu ia sengaja pergi, menuruti sang ayah untuk masuk ke pesantren, memperdalam ilmu agamanya di sana.

Satu tahun, ia memang tak bersua dengan Sahla. Namun, kabar terus mereka tukar seperti biasa. Hanya memang, dua bulan terakhir Maul terlalu fokus dengan hapalan kitabnya.

FROM ALIF TO YA' (OPEN PRE-ORDER)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang