Part 7. Bangkit

98 27 45
                                    

Butuh waktu dua minggu untuk Fiya bisa kembali ke rumah. Gadis itu, kini, berjalan dengan bantuan tongkat. Ya, bukan perkara mudah kehilangan salah satu indera vital.

"Assalamualaikum."

Salam terdengar dari pintu depan. Fiya segera menjawab. Ia mengarahkan tongkatnya menyusuri lantai, sesekali tongkat itu terantuk benda, membuat Fiya mengalihkan tujuan langkahnya.

Sayup-sayup ia dengar jika seseorang datang menanyakan kabarnya.

"Mahen?" gumam Fiya sembari tersenyum dan mempercepat langkah.

Rasa rindu sudah begitu menggebu. Mahen tak kunjung datang, kata Arum, pria itu tengah dalam proses pemulihan, sama seperti dirinya.

"Alifiya."

Senyum Fiya memudar. "Kapten?"

"Hai, Fi," sapa Sheryl.

"Oh sama Mbak Sheryl ya. Cie, habis nge-date apa gimana?"

Fiya berusaha menemukan kursi, kakinya sempat menyandung kaki kursi di dekatnya. Dengan sigap Maul membantu, dia menuntun sahabatnya untuk duduk di kursi.

Sheryl tersenyum melihat betapa manisnya hubungan persahabatan Maul dan Fiya. Janji Allah, bukan isapan jempol belaka. Tak mungkin Dia membiarkan hamba-Nya, terpuruk jatuh sendirian ketika tengah Ia uji kesabaran dan keimanannya.

Akan ada sosok-sosok lain yang datang menjadi perantara Allah menjaga si hamba yang tengah dirundung cobaan. Pemuda itu duduk di lantai, di bawah Fiya duduk.

"Mas Maul, kok malah duduk situ?" Ibu Fiya menegur sembari membawakan senampan teh dan tempe mendohan hangat.

"Gerah, Bu. Di sini adem."

Fiya berekspresi aneh, ia tahu Maul tengah mengada-ada.

"Kapten, duduk atas sana."

Belum sempat Maul menjawab ada tamu lain datang.

"Bu Arum! Ibu yang harus melunasi semua denda pembatalan resepsi."

Si tamu tak berucap salam, tak ada senyuman, tak ada sopan santun bertamu, langsung tembak di tempat.

Arum seketika mematung. Fiya pun tersentak.

"Pembatalan?"

Fiya seketika menangis. Pastilah, orang tua Mahen tidak mau menerima kondisinya yang buta. Pantas saja, Mahen tak kunjung datang menemuinya.

Sheryl mendekat dan memeluk Fiya. Sementara Maul pasang badan.

"Mohon maaf bapak-bapak sekalian, ada aturan main dalam bertamu, bukan seperti binatang asal  datang masuk ke rumah orang, menggonggong seenaknya."

Satu bogem diterima Maul dengan mulus, pekikan Arum dan Sheryl membuat Fiya mengira sesuatu terjadi pada Maul.

"Jangan ikut campur, Bocah!"

"Silakan bapak-bapak pergi dari sini atau saya laporkan ke polisi!" ancam Maul tak kalah sengit.

Tiga orang yang hadir tanpa diundang itupun pergi dengan wajah masam. Bon dan nota berterbaran di lantai. Maul memungutnya. Ada nota DP gedung, katering, MUA, souvenir, undangan, serta persewaan soundsystem dan tetek bengek lain.

Fiya masih tergugu, menangis sejadi-jadinya.

"Andai aku nggak sebodoh itu dulu. Andai aku langsung menghapus video itu, Mahen nggak akan marah. Kami nggak akan kecelakaan dan aku nggak akan buta."

Fiya meraung di dekapan Sheryl.

"Fi, istigfar Fi. Ini sudah takdir Fi."

"Tapi gara-gara aku buta, gara-gara aku buta. Mahen jadi batalin pernikahan kami, Mbak!"

FROM ALIF TO YA' (OPEN PRE-ORDER)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang