Riuh suara penonton terdengar. Beberapa kali teriakan pelatih berusaha menembus bahana sorak sorai suporter.
"Bagus! Terusin! Shoot!"
Gadis berjilbab navy yang senada dengan kulot dan outer bajunya itu berusaha memahami jalannya pertandingan.
Matanya tak lagi dapat ia gunakan untuk menyaksikan kelihaian para anggota tim dalam menggiring si kulit bundar. Fiya, hanya bisa mencoba menebak apa yang terjadi dari apa yang ia dengar.
Gadis itu memusatkan diri, fokus pada suara para pemain, sepakan bola dan teriakan Ken, sang pelatih. Sebuah keberuntungan, Fiya dapat duduk di tempatnya dulu ketika bertugas sebagai bagian dari official team.
Ken memang sengaja menempatkan Fiya dan Nay di sana, di samping tempat duduknya dan pemain cadangan.
Teriakan gol terdengar sebelum peluit panjang dibunyikan. Maul dan anggota timnya saling berpelukan. Akhirnya ia dapat menjuarai event nasional kembali setelah tahun lalu ia sempat gantung sepatu karena nyantri.
"Congrats!"
Fiya tersenyum senang, tetapi ia mendengar keriuhan semakin menjadi. Ia tetap duduk tenang di tempatnya. Mungkin, jika ia masih menjadi bagian tim, dirinya sudah berlari ke arah para pemain, seperti biasanya dan melemparkan handuk pada mereka serta memberi tos ucapan selamat.
Namun, kali ini, Fiya sadar jika dirinya tak lagi berguna di sana. Entah berapa lama Fiya duduk di sana, berharap bisa menyapa salah satu pemilik suara yang saling berbicara di pinggir lapangan.
"Nggak ada gunanya Fi, kamu di sini. Mending pulang aja. Setidaknya, kamu sudah memenuhi janjimu untuk datang di final pertandingan ini," batin sang dara.
Tongkat lipat, tumpuan milik Fiya, kini memanjang. Mengantarnya perlahan menyusuri pinggir lapangan ke arah pintu keluar di bawah tribun.
"Brengsek! Gara-gara gol si kapten itu kita jadi kalah! Gila last minute padahal."
Fiya mendengar kesah dari orang yang dia prediksi adalah lawan tim Maul. Suara benda terpantal terdengar.
"Heh, Bro, jangan ngawur lu! Kena orang, loh, bahaya!"
Lagi, terdengar sepakan benda dan Fiya tesentak saat tubuhnya seolah terbang dan hinggap di permukaan kulit yang basah.
"Hati-hati, lu!" sentak suara pemilik tubuh yang dihinggapi Fiya.
"M-mas Maul?" gumam Fiya ragu sembari menjauhkan wajahnya dari tubuh Maul.
"Halah, sok pahlawan lu. Gitu doang. Makanya kalau jalan pakai mata!"
"Sst! Dia buta weh!" sahut rekan si pelaku sembari menyenggol temennya.
Sang pelaku penendang bola yang hampir melukai Fiya, terkekeh.
"Lah, selera lu rendah banget, bro! Cari yang punya mata dong. Ah, atau milih yang begini gara-gara biar gampang lu selingkuhin ya? Kan, ditinggal tidur ama kucing lain pun, dia nggak bakal tau. Kan, buta. Licik juga lu ya, Maulana? Ya kan, nama lu Maulana kan?"
Rahang Maul mengeras. Fiya mencoba angkat bicara.
"Aku bukan ceweknya Mas Maul! Aku-"
"Ini calon istriku. Kenapa memangnya kalau dia nggak bisa melihat? Dia sempurna di mata gue. Dan kalian nggak perlu kasih komentar, toh gue nggak update status, ngapain dikomenin? Ngefans lu sama gue? Sini mana muka lu, gue tanda tanganin. Cap jempol sekalian juga boleh."
Fiya tertegun, Maul terlalu berani berbicara seenaknya. Pemuda itu bahkan tak membiarkan dirinya pergi dari sana.
"Aku anter ke tempat Mami sama Abi ya, Fi. Kamu tunggu sama mereka, nanti aku anter pulang, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
FROM ALIF TO YA' (OPEN PRE-ORDER)
RomanceMaulana Habibi Az Zukhruf, seorang pemuda yang menekuni profesi sebagai atlit sepak bola, dihadapkan pada pilihan sulit. Antara menikahi gadis pilihannya atau mewujudkan mimpinya sebagai anak yang berbakti pada orang tua. Dua puluh dua tahun, Maul h...