Suara lantunan ayat suci terdengar di rumah petak milik keluarga Fiya. Sejak tak dapat melihat, kegiatan Fiya hanya diam, merenung, mendengarkan rekaman dari mp3 player yang diberikan Maul untuknya dulu.
Akibat kecelakaan sebulan lalu, ponselnya hilang, yang selamat hanya benda itu dan dompet berisi kartu identitas di tasnya.
Hari-hari Fiya lalui dengan menunggu waktu salat tiba. Karena hanya itulah kegiatan yang bisa ia lakukan selain mendengarkan ceramah ustadz dari radio dan murottal Qur'an.Panggilan azan seolah menjadi panggilan untuknya pergi bermain. Ia segera berdiri dan keluar dari tempat persembunyiannya. Tak pernah ia lepas mukena dari tubuhnya.
Ia pun selalu menjaga wudu. Karena, dijam-jam tertentu, sang ibu harus bekerja di pasar sedang sang adik sekolah. Keterbatasan Fiya membuatnya tidak bisa pergi ke kamar mandi sendiri untuk mengambil wudu, itulah mengapa ia harus selalu menjaga wudunya setidaknya dari subuh hingga dzuhur.
"Qul a tuḥājjụnanā fillāhi wa huwa rabbunā wa rabbukum, wa lanā a’mālunā wa lakum a’mālukum, wa naḥnu lahụ mukhliṣụn."
Sebuah ayat meluncur dari bibir Fiya.
"am taqụlụna inna ibrāhīma wa ismā’īla wa is-ḥāqa wa ya’qụba wal-asbāṭa kānụ hụdan au naṣārā, qul a antum a’lamu amillāh, wa man aẓlamu mim mang katama syahādatan ‘indahụ minallāh, wa mallāhu bigāfilin ‘ammā ta’malụn."
Fiya tersentak saat ada suara laki-laki melanjutkan ayat yang ia baca. Wajahnya menyiratkan ketegangan, sementara itu si pelaku tersenyum jahil.
"Kaget?"
"Mas Kapten?" Fiya ragu.
Suara Maul memang tengah serak akibat batuk yang sudah seminggu ini bersemayam di tenggorokannya.
"Assalamualaikum, Alifiya."
"Wa alaikumussalam. Mami Nadya?"
Fiya berdiri dan tersenyum, mempersilakan tamunya duduk.
"Kamu apa kabar, Fi?" tanya suara seorang pria.
"Alhamdulillah, sehat Pak Kyai. Silakan duduk, Fiya bikinin minum dulu."
"Eh nggak usah, kami puasa, kok, Fiya duduk aja, sini." Nadya meraih tangan Fiya yang tertutup mukena itu.
Maul menatap sahabat yang selama dua minggu tak pernah mau menemuinya itu. Sejak kejadian terbongkarnya kematian Mahen, Fiya memang menjauhi Maul. Ia tak pernah mau menemui Maul, membuat pemuda itu merasa semakin bersalah.
Itulah mengapa hari ini, ia memiliki ide untuk mengajak kedua orang tuanya datang ke rumah Fiya. Tidak mungkin Fiya menolak ia temui jika sudah begini.
"Fi, kamu bosen nggak di rumah?" tanya Nadya sembari memainkan jari gadis di sampingnya.
Jujur, gadis itu mengangguk, ada sirat kesedihan di sana. Maul mengembus napas. Ia sudah merenggut keceriaan Fiya. Kalimat kebencian yang Fiya lontarkan dulu membuatnya sulit untuk sekedar memejamkan mata. Ia dihantui rasa bersalah, akibat perbuatan isengnya, Mahen salah paham dan kecelakaan itu terjadi.
"Fi, kata Maul, kamu pinter bikin kerajinan tangan? Kamu suka bikin gelang dan kalung buat aksesoris?"
"Oh, itu dulu iya, Mi. Cuma iseng aja, memangnya kenapa, Mi?"
Nadya tersenyum. "Mami mau minta tolong sama kamu, mau? Bantuin mami buat bikin aksesoris. Ada proyek baru yang dipercayakan ke butik mami, dan bajunya ini tuh ada aksen-aksen batu-batuan gitu. Misal, kamu bantuin untuk bikin aksesorisnya gimana?"
Fiya tersenyum dan mengangguk, sebelum senyum itu hilang.
"Tapi, Fiya udah nggak bisa liat lagi."
"Coba dulu lah, Fi. Orang biasanya kamu ngeronce itu kupu-kupu aksesorismu aja sambil mantau anak-anak latihan, kan? Nggak pake ngamatin satu-satu lubangnya yang harus masuk ke dalam benang." Maul membuka suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
FROM ALIF TO YA' (OPEN PRE-ORDER)
RomanceMaulana Habibi Az Zukhruf, seorang pemuda yang menekuni profesi sebagai atlit sepak bola, dihadapkan pada pilihan sulit. Antara menikahi gadis pilihannya atau mewujudkan mimpinya sebagai anak yang berbakti pada orang tua. Dua puluh dua tahun, Maul h...