Dua bulan berlalu, bahu membahu, Fiya dan Maul bersama membangun rumah tangga mereka. Berbekal gaji seadanya sang pria sebagai pengajar di madrasah, Fiya berusaha mencukupkan nafkah dari sang suami untuk kehidupan sehari-hari mereka.
Mata wanita itu berbinar sempurna saat melihat kreasi masakannya tersaji di atas meja makan.
"Masyaallaah, beli di restoran mana, Yaa Humaira?"
Maul memeluk sang istri sembari mengecup puncak kepalanya.
"Di restoran seberang sungai noh," jawab Fiya, membuat suaminya terkekeh.
"Hmmm... Gaji dua juta, bisa makan mewah tiap hari. Yang gajinya dua puluh juta, malah sering ngeluh kalau makanannya nggak enak. Kira-kira kenapa ya?"
Fiya mendongak menatap sang suami. "Banyak kemungkinan. Bisa jadi kurang mengikutsertakan Allah di dalam hidupnya. Kurang rasa syukur juga bisa."
"Salah milih is-"
Fiya menghentikan ucapan sang suami. "Eits. No! Tolong jangan berlebihan. Aku seneng dipuji, Mas. Tapi nggak kalau caranya begitu. Nggak baik."
"Memangnya kenapa?" Maul mengernyitkan dahi.
"Mas mau bilang kan, kalau mereka salah pilih istri? Mas salah kalau mikir kayak gitu. Kenapa? Karena jodoh itu murni hak mutlak Allah. Semua punya rejeki istri dan suami masing-masing. Ada yang tinggi ilmunya, ada yang cantiknya luar biasa, ada yang pinter masak, ada yang pinter ngatur uang, ada yang pinter ngurus rumah, ada yang pinter cari uang. Nah, mungkin kebetulan Mas dapat yang bisa masak. Tapi, ya cukup syukuri saja. Jangan dibesar-besarkan. Cocok di lidahmu belum tentu cocok di lidah orang, ya kan?"
Maul menatap istrinya dan tersenyum.
"Masyaaallah, mantunya Kyai Zuhdi. Bukan Ning, tapi ilmunya boleh diadu sama Ning."
Fiya lagi-lagi menggeleng. "Mas, jangan berlebihan."
Maul terkekeh dan mengecup pipi istrinya yang menggembung setiap kali kesal. Fiya memang tak pernah mau dipuji secara berlebihan. Ia takut akan takabur.
"Udah nggak usah cembetut gitu. Nih, buat istriku yang lagi ngidam coklat."
Pria berpeci itu menyerahkan sesuatu pada sang istri. Sebuah coklat batang berwarna ungu yang dihias pita.
"Makasih, Mas," ucap Fiya girang sembari mengecup pipi sang suami.
Maul terkekeh, kemudian duduk di kursi yang sudah disiapkan istrinya, memulai ritual makan siang. Sementara Fiya sibuk membuka bungkus coklatnya yang disertai sepucuk surat dari si pemberi.
"Assalamualaikum bidadari surgaku. Alifiya Yasna. Terima kasih sudah menerima pinanganku, menjadi pendamping hidupku, sabar menghadapi segala sikapku, melayaniku dengan pelayanan luar biasa, padahal tak seberapa nafkah yang bisa aku beri untukmu. Maaf atas rapuhnya tubuhku yang tak sekuat laki-laki lain di luar sana. Maaf atas sikap kekanakanku yang belum bisa sepenuhnya mandiri dan menjadikanku bergantung padamu."
Mata Fiya menatap satu persatu tulisan tangan sang suami.
"Yaa Humaira ... Dari alif hingga ya', kita gunakan seluruh huruf untuk merangkai kisah kita di masa lalu. Dan mulai sekarang, aku ingin From Alif to Ya', kita gunakan setiap huruf untuk merangkai kisah kita hingga akhirat kelak."
Bulir air mata haru perlahan menitik, membasahi pipi.
"Alifiya Yasna-ku, percayalah, di setiap sujudku, aku berdoa, semoga Allah meridhoi mahligai kita, hingga kelak dipersatukan kembali di surga. Ana Uhibbuki Fillah. Aku mencintaimu karena Allah. Tegur aku jika aku mulai lengah dalam beribadah, karena aku sudah berikrar Ana Uhibbuki Fillah. Jadi, ketika keimananku menurun artinya menurun pula rasaku padamu. Tegur aku ya. Dan cintailah aku juga karena Allah. Agar kita terus menerus memacu diri kita menjadi seorang hamba yang selalu menjaga kualitas iman pada Tuhannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
FROM ALIF TO YA' (OPEN PRE-ORDER)
RomanceMaulana Habibi Az Zukhruf, seorang pemuda yang menekuni profesi sebagai atlit sepak bola, dihadapkan pada pilihan sulit. Antara menikahi gadis pilihannya atau mewujudkan mimpinya sebagai anak yang berbakti pada orang tua. Dua puluh dua tahun, Maul h...