Part 3. Kupu-kupu

161 34 37
                                    


Teriknya udara Solo sore itu tak menyurutkan semangat pemuda yang tengah menjalani puasa sunnahnya untuk melakukan latihan fisik.

Beberapa kali, Raihan sudah berhenti untuk sekedar meneguk air mineral yang dibawakan oleh Fiya, sang manajer tim.

"Gila, Maul emang bener-bener fisiknya. Nggak main-main staminanya. Kalau gue udah nggak kuat lari pas puasa gitu," puji Raihan

Fiya terkekeh. "Ya jangan bandingin sama dia. Kapten emang gitu kan dari dulu. Selama lima tahun nanganin kalian, belum ada tuh yang kestabilan staminanya kayak dia."

"Gibah mulu." Suara Ken membuat obrolan Raihan dan Fiya berhenti.

"Coach, minum?" tawar Fiya.

Pria berumur tiga puluh dua tahun itu menggeleng sembari menyeka peluh. Ia baru saja selesai mengelilingi lapangan sebanyak sepuluh kali bersama Maul.

"Nggak haus?"

"Maul aja tahan, kenapa gue enggak?"

Fiya menatap atasannya.

"Koh, soal yang kemarin, gimana?"

Ken mengusap peluh dengan handuk yang ia ambil dari tas.

"Kamu yakin mau berhenti?"

Gadis yang sudah menjadi manajer tim selama lima tahun itu menghembus napas berat.

"Mahen nggak ngijinin aku. Soalnya rencananya aku mau ikut dia pindah ke Klaten. Dia sekarang kan pindah ke kantor cabang Klaten."

"Ingat dalam islam sudah diatur, dalam potongan surah An- Nisa ayat tiga puluh empat, artinya,  maka istri-istri yang saleh itu ialah yang taat kepada Allah dan memelihara diri ketika suaminya tidak ada. Oleh karenanya Allah telah memelihara dan menjaga mereka."

Kalimat panjang Maul membuat beberapa orang di sana sontak menoleh. Pria gondrong itu menjadi pusat perhatian. Wajahnya yang kemerahan dan berpeluh terlihat menambah kesan eksotis.

Tangan Maul mengode Aya untuk menunduk. Gadis itu segera memalingkan wajah. Kode yang sudah dilakukan Maul sejak dulu pada manajernya ketika ia ingin melepas kaosnya yang sudah basah kuyup.

"Kita harus dukung keputusan Fiya," lanjut Maul sembari melepas kaosnya.

Otot perut yang begitu sempurna tercetak di sana. Atletis? Tentu. Sudah sejak umur tujuh tahun dia menggeluti dunia bola. Fisiknya sudah terbentuk sedemikian rupa. Tubuh bertinggi seratus tujuh puluh delapan itu terliat kuat dan liat, tanpa lemak tak perlu.

"Astagfirullah," pekik tertahan terdengar.

Ken segera berdiri dan melempar handuknya.

"Ul! Buruan pake baju!" titah Ken sembari berdiri, seolah menjadi benteng.

Raihan dan Maul mengernyit.

"Ups, afwan ukhti. Nggak tau kalau ukhti datang. Aku ikhlas kok diliatin," kelakar Maul sembari mengusap peluh di tubuhnya dan mengenakan kaos yang ia ambil dari tas.

"Buruan Maul!" tegas Ken.

"Udah Koh, udah. Dah aman. Lagian nih, menurut Mazhab Hambali dan Syafii bagian pusar sama lutut laki-laki itu bukan aurat. Nah yang termasuk aurat itu yang di bawah puser doang.  Tapi, kalau Mazhab Maliki pendapat yang masyhur mengatakan bahwa aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut. Jadi, paha termasuk aurat yang tidak boleh dilihat. Jadi intinya selama gue pake celana, aman-aman aja."

FROM ALIF TO YA' (OPEN PRE-ORDER)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang