6. Confession

1.4K 176 3
                                    

"Kau mengerti apa Unnie?" ujar Jennie sambil meninggikan nada suaranya kepada Irene.

Irene hanya bisa menatap sendu adiknya. Ia tak tau jika Jennie begitu banyak memendam semuanya. Memendam rasa sakit selama ini.

Irene memeluk Jennie erat dan menenangkan Jennie yang masih menangis. Yang Irene tau tangisan adiknya itu tangisan yang terdengar menyakitkan.

Ia ingin menangis melihat keadaan Jennie yang kacau seperti ini. Tetapi ia berusaha keras menahan tangis agar bisa menenangkan adiknya.

"Kau tau Unnie? Aku lelah berusaha bertahan dengan semua ini. Aku lelah Unnie.. setiap kali rasa ini datang, setiap kali aku menjadi seperti seorang pencundang karna aku selalu membayangkan bahwa aku akan mengores pergelangan tanganku sendiri dengan pisau tajam. Kau tau? aku lelah menahan semua rasa ini Unnie. Aku berpikir dengan mengores pergelangan tanganku. Semua akan berakhir baik baik saja. Takkan ada rasa sakit lagi."

Pengakuan dari Jennie mampu membuat Irene sangat terkejut.
Irene melepas pelukannya, dan mulai mengelus kepala Jennie dengan lembut. Setelah itu Irene mengusap air mata Jennie yang terus berjatuhan seperti tak akan pernah berhenti.

Mata mereka saling bertatapan, Irene bisa melihat dengan jelas rasa lelah yang dirasakan Jennie melalui pancaran matanya. Tatapan seolah olah Jennie merasa sedang sendirian di dunia ini tanpa ada bahu untuk bersandar.

Irene menyalahkan diri karna tak bisa menjadi kakak yang baik bagi Jennie, Irene mengira selama ini adiknya bahagia karna senyuman diwajahnya selalu mengembang walaupun terkadang ia juga memasang wajah dingin untuk kesan yang kuat jika berada didalam konteks pekerjaan.

Ternyata apa yang ia pikirkan selama ini adalah sebuah kesalahan. Adiknya tak pernah benar - benar tersenyum.
Jennie-nya tak pernah benar - benar bahagia.

Irene melihat bibir Jennie ingin mengatakan sesuatu. Tetapi, sampai sekarang satu katapun tak pernah terucap dari bibir adiknya itu. "Kau ingin mengatakan apa? Katakan kepada Unnie. Jangan ragu - ragu. Unnie selalu ada untukmu Jennie ya.. jangan berpikir kau seolah - olah sendiri disini. Apakah kau melupakan Unniemu ini? Atau kau melupakan ketujuh saudaramu?" ujar Irene sambil mengengam erat tangan adiknya seolah ingin memberikan kekuatan kepada Jennie.

"Apakah tidak apa - apa jika suatu saat nanti aku akan menyerah dengan semua ini Unnie? Semuanya terasa begitu sangat berat. Bahkan Appa sampai sekarang masih membenciku dan terus berkata kasar kepadaku."
Jennie melepaskan genggaman tangan Unnienya.

Jujur bahkan ia sepertinya tak sanggup lagi untuk bertahan. Bahkan bernapas adalah sesuatu hal sangat berat untuk ia lakukan.

Irene sedikit marah ketika Jennie berkata ingin menyerah. Menyerah dalam artian ingin mengakhiri semua ini. Mengakhiri kehidupannya.

"Kau jangan sekali - kali pernah bepikir seperti itu sayang. Kau adik Unnie yang kuat. Ini bukan seperti Jennie yang kukenal. Jennie yang kukenal adalah seseorang yang kuat dan nakal. Bertahanlah sedikit lagi, aku tau kau orang yang kuat dan satu hal lagi. Apakah kau lupa jika Appa memang begitu dengan kita semua. Kau lupa jika Appa adalah musuh terbesar kita saat ini ?"

Mereka terdiam beberapa saat. Sibuk dengan pikiran masing - masing. Irene melirik jam dinding yang menunjukkan pukul lima sore. Seharusnya Irene ada janji dengan seseorang, tetapi untuk saat ini Jennie lebih membutuhkannya.

"Sejak kapan kau menyembunyikan semua ini?." Ujar Irene yang memecah keheningan diantara mereka berdua. Irene menatap mata Jennie.

Irene penasaran berapa lama ekspresi yang ia lihat sekarang ini disembunyikan oleh Jennie dari semua orang.

𝗙𝗿𝗮𝘁𝗲𝗿𝗻𝗶𝘁𝗲 𝗩𝗲𝗹𝗼𝘂𝗿𝘀 𝗡𝗼𝗶𝗿 | END Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang