Sekarang Renjun sudah berumur 12 tahun, dia tidak bodoh untuk tidak memahami situasi yang terjadi.
Semenjak kejadian 6 tahun lalu, dimana kakaknya menyelamatkannya dan harus duduk di kursi roda, Renjun paham akan perubahan kedua orang tuanya pada dirinya.
Dimulai dari sang bunda yang mudah sekali terpancing emosi dan sang ayah yang terkadang memukulinya karena mendapat nilai sempurna.
Bukan hanya memuluki, terkadang sang ayah mengurungnya di kamar mandi seharian penuh tanpa diberi makan. Membuat Renjun terpaksa meminum air dari keran karena haus.
Aneh bukan? Kebanyakan orang tua akan marah jika nilai sang anak tidak sempurna. Tapi tidak dengan Renjun. Renjun dimarahi bila mendapatkan nilai sempurna. Karena apa?
Karena sang kakak akan bersedih karena tidak bisa melampaui Renjun. Tapi itu bukan salah Renjun kan? Renjun tidak melakukan apapun.
Dan lagi, haruskah dia pertaruhkan pendidikannya juga demi sang kakak?
"Renjun, sudah berapa kali ayah katakan bahwa nilaimu harus 7. Kenapa sekarang malah 100 hah?! Kau membantah ayah?!"
"Tapi Renjun juga perlu nilai terbaik ayah."
"Nilai 7 cukup untuk membuatmu naik kelas."
Renjun menatap sang ayah memohon, "ayah, bagaimana jika Renjun ditanya oleh guru?"
"Renjun, kakak kamu sudah 6 tahun tidak dapat berjalan, dia malu dan memilih homeschooling, seharusnya kau sadar, seharusnya kau sadar semua ini karena ulah mu dulu! Seharusnya kau mengalah!"
Ayahnya benar, semua ini terjadi karena Winwin menyelamatkannya 6 tahun lalu.
"LALU SAMPAI KAPAN AYAH? SAMPAI KAPAN? KENAPA DULU KAKAK NYELAMETIN RENJUN?! KENAPA KAKAK GAK BIARIN RENJUN DI TABRAK AJA?!"
PLAKK!
"JANGAN KURANG AJAR KAMU! SIAPA YANG MENGAJARIMU MEMBENTAK SEPERTI ITU?! APA AYAH PERNAH MENGAJARIMU SEPERTI ITU?!"
"IYA!! Ayah tanpa sadar ngajarin Renjun buat bersikap kasar. Apa ayah sadar akan itu? ENGGAK!! CUMA KAKAK KAKAK DAN KAKAK!! APA RENJUN HARUS CACAT DULU KAYA KAKAK SUPAYA DIPERHATIIN?!"
PLAKK!
"BERBALIK RENJUN! KUBILANG BERBALIK!!"
Renjun tersenyum miris. Lagi, padahal dirinya juga tidak ingin mengatakan itu. Dia tahu itu terlalu kejam. Kakaknya cacat karenanya, tapi Renjun tidak tahu bagaimana mengatakan bahwa dirinya ingin mendapat kasih sayang lagi dari kedua orang tuanya.
CTAK!
"KAU SUDAH MULAI MENJADI ANAK KURANG AJAR HAH?!"
CTAK! CTAK!
"PERGI KE KAMARMU SEKARANG DAN RENUNGKAN KESALAHANMU! TIDAK ADA MAKAN UNTUKMU SAMPAI BESOK!"
Renjun menghela napas, memegang gagang pintu lalu berhenti sejenak, "apa ayah tahu sekarang hari apa?" gumam Renjun.
"Pergi ke kamarmu sekarang Renjun! Jangan membicarakan hal tidak penting atau kau, ku hukum lagi!"
Renjun tersenyum miris, membuka pintu ruangan sang ayah dan berjalan keluar lalu menutup kembali pintu tersebut dengan perlahan, "padahal, hari ini hari ulang tahun Renjun."
Dia, Park Renjun, dipaksakan dewasa oleh keadaan. Yang tanpa mereka, orang dewasa sadari. Tidak ada yang lebih buruk ketika anak mereka di dewasakan oleh keadaan. Karena pilihannya hanya dua.
Dihancurkan, atau menyerah.
Tapi percayalah, Renjun tidak selemah itu. Dia membuat pilihan ketiga tanpa orang lain sadari. Renjun memilih bertahan.
Karena dia yakin, suatu saat, entah kapan, Renjun akan bahagia. Kembali bahagia.
"Renjun," panggil Winwin yang berada tepat di depan Renjun.
Renjun menghela napas, "ini waktunya kakak istirahat," ucap Renjun dan mulai mendorong kursi roda Winwin menuju kamar sang kakak.
"Dimarahi lagi?"
"Tidak."
Winwin menghela napas lalu tersenyum, "selamat ulang tahun Renjun. Kamu mau hadiah dari kakak? Eh, atau kita jalan-jalan aja? Udah lama kita gak jalan-jalan."
Deg!
Renjun tersenyum kecil, bersyukur setidaknya ada satu orang yang mengingat hari spesialnya, "ak-"
"Astaga Winwin, kamu keluar kamar sendiri? Kan sudah bunda bilang kalau ada apa-apa atau ingin sesuatu, katakan pada bunda. Biar bunda yang ambilkan," ucap bunda yang tiba-tiba datang dan langsung mengambil alih kursi roda Winwin.
"Bunda, Winwin udah bisa sendiri. Lagi pula, Winwin pengen ngabisin waktu sama Renjun."
"Untuk apa?"
Suara sang bunda, berubah dingin. Renjun tidak sebodoh itu hanya untuk menyadari hal kecil seperti itu.
"Bunda, apa bunda lupa? Hari ini ulang tahunnya Renjun."
"Lalu?"
"Kita harus ngerayain itu."
"Apa dia masih kecil sampai ulang tahun harus dirayain? Renjun, bukankah kau dihukum?"
Renjun menghela napas lalu segera pergi ke kamarnya dan langsung mengunci kamarnya.
Winwin yang melihat itu tampak murung. Harusnya dia bisa menghabiskan waktu dengan sang adik.
Renjun bersandar di pintu kamarnya, tubuhnnya merosot jatuh. Air mata dan isakan tangis tanpa sadar lolos begitu saja. Renjun tidak ingin menangis, tapi air matanya terlalu sialan untuk bertahan.
"Tapi, Renjun emang masih kecil bunda."
"Winwin, 7 bulan lagi kamu bakal 17 tahun. Bagaimana kalau kita merayakannya dengan pergi ke Jeju?"
Renjun seketika memegang dadanya yang tiba-tiba saja berdenyut. Ucapan bunda yang tak sengaja terdengar entah kenapa semakin membuat air mata Renjun semakin deras. Bukankah seharusnya suara orang tua itu menenangkan tangisan? Apalagi bunda.
Tapi, kenapa itu tidak berlaku bagi Renjun?
"Kenapa Tuhan gak adil sama Renjun?"
---
Paginya, Renjun bangun kesiangan karena semalam dia tidak bisa tidur akibat kelaparan. Jadi Renjun dengan cepat keluar dari kamarnya dan bersiap untuk pergi.
"Renjun, mana sopan santunmu?!"
Tolong, Renjun ingin hari ini saja dirinya tenang.
"Maaf ayah. Renjun telat," ucap Renjun lalu segera pergi dari rumah. Tak perduli dengan teriakan sang ayah yang memanggil namanya.
Renjun hanya tidak ingin dirinya berakhir di UKS sekolah karena alergi sebab memakan roti selai kacang di rumah.
Dan Renjun hanya tidak ingin tertinggal ulangan hari ini. Ulangan bahasa Korea, pelajaran yang sangat dia sukai.
"Lo udah belajar?" tanya Haechan, teman sebangku Renjun sejak dulu.
"Bukannya pertanyaan itu harusnya buat lo sendiri ya?"
Haechan cemberut, memilih menghela napas lalu mengeluarkan kotak dan menyerahkannya pada Renjun.
"Apa?" tanya Renjun.
"Kamaren tua kan? Ya itu."
"Tumben," ucap Renjun menerima kotak itu lalu perlahan membukanya.
"Baik salah, gak baik salah. Ya udahlah mending gue ke kantin."
Renjun menggidikkan bahu tak perduli dan mulai membuka kotak pemberian Haechan.
Tuing!
"AAAA KATAK!!"
"ITU KODOK BEGO!"
"SAMA AJA, POKOK NYA LOMPAT!"
"LONCAT, LOMPAT BUAT DESKRIPSIIN MANUSIA!"
"HAECHAN SIALAN, SARAP YA LO?!"
Memang seharusnya Renjun tidak usah percaya pada Lee Haechan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjun Juga Pengen Bahagia [END]
Fanfiction"Kata kak Doy, lelaki itu boleh nangis. Tapi kata ayah, lelaki gak boleh cengeng. Cengeng sama nangis itu, beda kan? Jadi, Renjun boleh nangis kan?" Gak ada bahagia yang mudah untuk ditemukan. Tapi bahagia itu datang, tanpa kita sadari. Hanya saja...