Sudah hampir sebulan Renjun menginap di rumah Haechan. Dia benar-benar merasa nyaman dan diterima di rumah Haechan. Karena dia tahu, Haechan benar-benar memahami apa yang terjadi antara dia dan keluarganya.
Dari dulu, Renjun hanya nyaman bercerita pada Haechan. Meskipun sifat Haechan sangat menyebalkan. Tapi percayalah, sahabat seperti Haechan itu merupakan teman yang sangat nyaman dan teman yang mendengarkan cerita kita dengan baik.
Walau pada akhirnya Haechan akan bersikap menyebalkan, tapi Renjun tau, Haechan seperti itu untuk menghiburnya. Menghibur Renjun agar Renjun melupakan apa yang terjadi walau hanya sebentar.
"Ren, hebat banget ya pertengkaran lo sama mereka?" tanya Haechan di tengah-tengah permainan mereka.
Renjun menghela napas, "gue baperan doang kayaknya. Emang seharusnya kak Winwin lebih diperhatiin kan dibandingkan gue? Dia ngorbanin kakinya buat nyelametin gue."
"Wajar Ren lo gitu. Disini lo ataupun kak Winwin gak salah. Kedua orang tua lo yang salah ambil keputusan. Walau iya kak Winwin emang harus dapet kasih sayang lebih, tapi apa pantes mereka ngelupain kalau lo juga butuh kasih sayang mereka?"
Renjun seketika tediam, sampai tidak sadar karakter gamenya sudah terbunuh oleh musuh, "gue bingung Chan."
Haechan menyempatkan menepuk punggung Renjun beberapa kali, "gue gak akan ngerti dengan jelas gimana perasaan lo sekarang, karena gue bukan lo, dan lo bukan gue. Gue gak bisa ngerasain apa yang lo rasain. Tapi gue tau, lo lagi kecewa, sakit, dan marah. Cuma lo gak bisa ngungkapin semuanya. Tapi mata lo yang nunjukin itu semua."
"Chan, gimana kalau di hidup gue sekarang cuma ada dua pilihan?"
Haechan masih fokus pada gamenya, tapi dia dapat mendengar dengan jelas apa yang Renjun katakan, "apa?"
"Nyerah sama bertahan tanpa kebahagiaan."
Gamenya sudah menang, Haechan dengan segera menyimpan handphonenya lalu mulai fokus pada cerita Renjun.
"Gue bingung, satu sisi gue pengen nyerah Chan. Tapi gue gak ingin mati secepet itu. Dan kalau gue bertahan, apa kebahagiaan bakal dateng ke gue? Seenggaknya sehari aja."
"Tunggu, nyerah lo ini maksudnya mati?"
Renjun mengangguk, mulai memainkan gamenya lagi.
"Gila ya lo?!"
"Ya apa lagi? Gue hidup artinya gue milih bertahan, tanpa ada kebahagiaan. Gak ada yang kuat sama semua itu Chan. Dan lagi, gue gini dari gue masih bocah. Dipaksa dewasa itu gak enak."
"Ren, setiap pilihan gak mungkin cuma dua. Tuhan pasti diem diem ngasih pilihan lain diantara dua pilihan itu. Dan, kebahagiaan gak akan cuma dari keluarga lo Ren. Di sekolah, kita maen, bahagia kan?" ucap Haechan.
Renjun menghela napas, menyerah pada permainannya karena sudah tidak fokus, "Chan, kebahagiaan gak akan lengkap kalo gak ada kebahagiaan dari keluarga lo. Rasanya bakalan kosong."
"Udah berapa kali gue bilang Ren, keluarga gue itu keluarga lo juga. Kita saudara, ortu gue itu ortu lo juga. Adek gue adek lo juga."
"Gak semua kebahagiaan keluarga itu di dapetin dari keluarga asli Ren. Rumah gue dan keluarga gue itu bakal selalu nerima lo."
---
Renjun membuka pintu rumahnya perlahan, menghela napas dan mulai masuk ke dalam rumah.
Dia yang akan segera pergi ke kamarnya, terhenti kala melihat ayahnya yang sedang menatapnya tajam dengan sabuk yang sering digunakan sang ayah untuk memukulnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjun Juga Pengen Bahagia [END]
Fanfiction"Kata kak Doy, lelaki itu boleh nangis. Tapi kata ayah, lelaki gak boleh cengeng. Cengeng sama nangis itu, beda kan? Jadi, Renjun boleh nangis kan?" Gak ada bahagia yang mudah untuk ditemukan. Tapi bahagia itu datang, tanpa kita sadari. Hanya saja...