Selama satu bulan, Renjun selalu menunggu Doyoung selesai melakukan terapi untuk kakaknya.
Dia selalu saja menunggu tidak sabar di kamarnya. Bahkan sampai pernah nomor Renjun di blokir oleh Doyoung karena Renjun terus meneleponnya, menanyakan apakah sudah selesai atau belum.
Bahkan sekarang Renjun berkali-kali mengecek handphonenya, menunggu pesan dari Doyoung. Ingin menelepon dan bertanya, tapi Renjun takut akan ancaman Doyoung yang bilang akan memblokirnya.
“Jadi, Winwin sebentar lagi akan bisa berjalan?”
“Iya, ngeliat Winwin yang gigih saat terapi, Doyoung rasa gak lama lagi dia bakal bisa jalan. Kalau dalam minggu ini perkembangannya naik pesat, Winwin bisa mulai memakai tongkat minggu depan.”
Renjun seketika tersenyum, melompat dari kasurnya dan segera keluar dari kamar. Berlari pelan menghampiri Doyoung yang berada di ruang tamu dengan sang bunda dan juga kakaknya.
“Ayoo,” ajak Renjun ke Doyoung, tanpa memperdulikan sang Bunda dan kakaknya.
“Baru beres astaga,” gumam Doyoung.
“Kalian mau kemana?” tanya Winwin.
Doyoung tersenyum, “anak kecil minta temenin beli sepatu,” jawaban Doyoung membuat Renjun mendengus sebal dan menginjak kaki yang lebih tua, membuat Doyoung mendesis sakit.
“Makan dulu aja gimana? Tadi bibi masak banyak buat makan malem, tapi suami bunda ternyata bakal pulang larut,” ajak Bunda Wendy.
Renjun mendengus, “ayo bang, keburu tokonya tutup” ajak Renjun pada Doyoung tanpa memperdulikan sang bunda.
Jujur saja, selama hampir dua bulan disini, Doyoung sangat sadar tentang keanehan Renjun pada kedua orang tua dan juga kakaknya.
Doyoung selalu dapat melihat ketika Renjun yang merasa tidak nyaman berada di antara kedua orang tuanya, dan canggung berada bersama kakaknya.
“Renjun, makan dulu,” ucap Bunda Wendy, tapi sama sekali tidak Renjun perdulikan.
Doyoung yang sadar segera tersenyum, “Doyoung boleh ikut makan tante?” tanya Doyoung yang mendapat anggukan bunda Wendy dan tatapan sengit Renjun.
“Ya udah lo makan dulu aja, gue tunggu di kamar, kalo udah telpon,” ucap Renjun.
Tapi belum sempat Renjun pergi menuju kamar, tangannya di tahan oleh Doyoung dan di tarik menuju ruang makan. “Gue gak mau makan bang.”
“Lo gak makan, gak gue jadiin ya,” ancam Doyoung membuat Renjun mendengus sebal dan mau tak mau menuruti kemauan Doyoung.
Bunda Wendy yang baru datang, segera menempatkan Winwin di tempatnya lalu mengambilkan Winwin dan juga Doyoung nasi pada piring mereka masing-masing.
Sedangkan Renjun yang melihat itu hanya tersenyum sinis, dia mengambil nasi dan lauknya hanya sedikit lalu segera makan tanpa menunggu bundanya juga Winwin dan Doyoung.
“Renjun, tau kan apa yang seha--,” ucapan bunda Wendy terpotong saat melihat Renjun yang sudah berdiri dan menyimpan piring bekasnya di wastafel lalu berjalan meninggalkan ruang makan.
“Gue tunggu depan,” ucap Renjun pada Doyoung sebelum benar-benar meninggalkan ruang makan.
Winwin yang melihat itu menunduk menatap makanan nya dengan tatapan sedih.
Dia tidak pernah lagi makan bersama Renjun semenjak ulang tahun adiknya yang ke 17. Renjun selalu menolak dengan berbagai macam alasan saat dia mengajak untuk makan bersama.
Begitupun saat sarapan, Winwin selalu melihat pagi sekali Renjun membuat roti bakarnya sendiri sambil mengobrol bersama bibi dan pergi ke sekolah tanpa pamit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjun Juga Pengen Bahagia [END]
Fanfiction"Kata kak Doy, lelaki itu boleh nangis. Tapi kata ayah, lelaki gak boleh cengeng. Cengeng sama nangis itu, beda kan? Jadi, Renjun boleh nangis kan?" Gak ada bahagia yang mudah untuk ditemukan. Tapi bahagia itu datang, tanpa kita sadari. Hanya saja...