Sudah seminggu semenjak Winwin sadarkan diri, tapi Winwin sama sekali belum melihat sang adik menjenguknya. Bahkan setiap malam Winwin sengaja bangun, takut kalau sang adik diam-diam menjenguknya.
Tapi itu sama sekali tidak terjadi. Adiknya tidak menjenguknya. Renjunnya tidak datang sama sekali.
“Bun, Renjun kemana?” tanya Winwin akhirnya.
Selama seminggu dia takut untuk bertanya pada kedua orang tuanya. Mengingat hari pertama dimana dirinya terbangun, kedua orang tuanya terutama ayahnya sangat marah ketika Winwin bertanya tentang Renjun.
Bahkan ayahnya itu sampai memarahi dokter Doyoung yang sedang memeriksanya saat Doyoung ikut dalam pembicaraan.
Beruntung karena sekarang ayahnya sedang bekerja, Winwin dapat bertanya pada sang bunda tanpa harus mendengarkan teriakan amarah sang ayah.
“Winwin, ayah kan bilang jangan ngomongin Renjun lagi.”
“Ayah gak ada di sini bunda. Lagi pula kenapa Winwin gak boleh ngomongin Renjun lagi? Renjun kan adik Winwin, anak ayah sama bunda juga.”
“Winwin, kamu tau? Adik kamu itu gak tau diri dan kurang ajar,” ucap sang bunda dengan amarah yang tertahan.
“Maksud bunda apa?”
“Dia, pakai motor yang bunda sama ayah mau hadiahin ke kamu tanpa izin. Dan dia pake buat balap liar sama temen-temen kurang ajarnya itu. Dan kamu tau? Beberapa minggu lalu motornya dianter orang dengan keadaan rusak parah.”
Winwin seketika panik mendengar keadaan motor yang diceritakan bundanya. Kalau keadaan motor itu rusak, lalu bagaimana dengan keadaan adiknya?
“Renjun dimana bunda? Keadaan Renjun gimana?”
“Winwin! Kamu kenapa masih nanya dia. Dia udah keterlaluan! Dia—“
“BUNDA!!”
Sang bunda seketika sang bunda terdiam mendengar teriakan dari Winwin. Dapat Wendy rasakan. Ada amarah yang terpendam dari teriakan itu.
“Win…”
“Maaf bunda. Tapi apa bunda sadar sama yang bunda bilang? Bunda, Winwin gak peduli soal motor itu,” jelas Winwin.
“Winwin, tapi motor itu kan—“
“Motor itu dikirim dalam keadaan rusak, dan itu dipake sama Renjun. Bunda, kalau motor itu rusak, terus gimana Renjun? Gimana keadaan Renjun yang make motor itu? Apa bunda kepikir sampe situ?”
Napas Winwin tersengah, mencoba menahan gejolak amarah di depan bundanya, “bunda, bunda itu orang tua Renjun. Harusnya bunda lebih khawatir sama Renjun dari pada motor itu. Apalagi bunda yang ngelahirin Renjun, kenapa bunda sampai gak mikir keadaan Renjun?”
“Winwin—“
“Bunda bilang itu kejadian beberapa minggu lalu. Dan bunda sama sekali gak kepikir sampe situ? Gak kepikir keadaan Renjun? Gimana keadaan Renjun, dimana Renjun sekarang, apa Renjun baik-baik aja sekarang, bunda gak kepikir sampai situ?”
“Bunda—"
“Winwin bener-bener gak nyangka sama ayah sama bunda. Yang dengan gak tau dirinya malah mikirin keadaan motor itu daripada keadaan anaknya sendiri yang bahkan sampai sekarang belum ada kabar sama sekali.”
“Dimana ada orang tua yang malah lebih khawatir sama keadaan barangnya dari pada keadaan dan kabar anaknya? Dan dimana ada ibu yang tega masih jelekin anaknya tanpa tau keadaan anaknya yang sebenernya? Winwin bener-bener kecewa sama bunda dan ayah.”
“Winwin, bunda minta maaf,” ucap sang bunda dengan sedikit terisak.
“Besok, pulang dari sini, Winwin mau langsung nyari Renjun. Bunda sama ayah gak usah nganter Winwin pulang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjun Juga Pengen Bahagia [END]
Fanfiction"Kata kak Doy, lelaki itu boleh nangis. Tapi kata ayah, lelaki gak boleh cengeng. Cengeng sama nangis itu, beda kan? Jadi, Renjun boleh nangis kan?" Gak ada bahagia yang mudah untuk ditemukan. Tapi bahagia itu datang, tanpa kita sadari. Hanya saja...