"Saya turut berduka cita atas kepergian ketiga selir Anda, Grand Duke Morton." Ucap Kaisar Friedrich Mande Daguerre, Kaisar dari Kekaisaran Selatan. Ia menepuk bahu sang kawan satu akademi bermaksud memberi sedikit semangat.
"Terima kasih, Yang Mulia."
Rean yang kini tampil dengan balutan gaun hitam tanda berkabung, duduk di salah satu kursi paling pojok. Ia sedang berada di pemakaman khusus bagi para selir sembari menikmati susu hangatnya.
Seperti alur ceritanya. Pembunuhan terjadi di kota Mohan yang menargetkan para wanita. Contohnya ketiga selir Federick yang sedang dalam perjalanan pulang dari pesta teh di Horienter –Ibukota Kekaisaran Selatan yang membutuhkan waktu 6½ jam dari Mohanter jika menggunakan kereta kuda dengan kecepatan rata-rata, dan tanpa pengawalan.
Ia menatap malas pada keempat saudaranya yang kini menangis dipelukan pelayan pribadi masing-masing saat melihat ketiga mayat selir itu dimakamkan setelah melakukan proses pemeriksaan.
Ya, ya, keempatnya memang sangat disayang oleh ketiga selir itu. Wajar jika mereka menangis.
Ia tahu pelakunya? Jelas tahu. Bahkan taktik yang dilakukan pun dia tahu, karena ia pembuat novel ini.
Tapi maaf saja, Rean tidak akan menghalangi pemeran utama. Justru ia memang menunggu saat dimana ketiga selir itu mati hingga ia bisa bebas melakukan apa pun.
"Anda baik-baik saja nona?" Tanya Zia khawatir.
"Apa aku telihat sedih?" Rean menatap Zia dengan dagu yang bertopang pada tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang secangkir susu hangat.
Zia menggeleng. "Tidak nona."
Rean terkekeh sebentar sebelum meneguk susunya anggun. "Zia, kau tahu 'sempulna'? Aku halus menjadi sempulna."
Zia menyeringit bingung, kenapa topiknya jadi melenceng? "Sempurna?"
Rean mengangguk. "Ya. Menjadi sempulna adalah tujuanku."
"Sempurna bagaimana Nona?"
"Ya sempulna. Belkuasa, tidak belgantung, tangkas, belmental kuat, celdas, bisa melakukan segala hal, tidak memiliki kelemahan maupun kecacatan."
Zia menggeleng pelan. "Bagaimana bisa seseorang tidak memiliki kelemahan? Itu mustahil nona."
"Itu tidak mustahil. Kelemahan seseolang teletak pada pelasaannya. Pelasaan hanya membuat seseolang menjadi lemah dan cacat, kalena pelasaan seseolang menjadi bodoh, dan kalena pelasaan seseolang menjadi gila. Maka dali itu, untuk menjadi sempulna kita halus menyingkilkan pelasaan kita kalena pelasaan adalah kelamahan." Jelas Rean.
"Apa nona yakin itu adalah kesempurnaan yang sesungguhnya? Bagaimana dengan kebahagiaan?"
"Kebahagiaan akan telahil bila seseolang sudah sempulna." Rean kembali meneguk susu hangatnya sebelum memasang raut serius.
Sebelum Zia menimpali, dia melihat tatapan serius nonanya yang sangat jauh dari umurnya. "Ada apa nona?
"Ambilkan aku buku, upacala ini benal-benal hanya membuang waktuku."
"Baik nona." Zia segera pergi mencari pelayan lain untuk mengambilkan buku, karena tidak mungkin ia meninggalkan nonanya sendirian sementara dirinya mengambil buku di kereta kuda yang letaknya cukup jauh.
Sementara Rean tenggelam dalam lamunannya. Ia memikirkan cara untuk mendapat banyak uang. Karena untuk menjadi sempurna, ia haruslah memiliki kekuasaan dan uang yang banyak.
.
.
.
"Ini adalah tim detektif yang aku rekomendasikan. Mereka yang akan menangani kasus ini, percayakan semuanya pada mereka." Ucap Friedrich yang saat ini ada di ruang tamu mansion Morton. Ia menunjuk pada 2 orang di belakangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happier: My Lady
FantasíaBlurb: "Subrata harus sempurna! Jangan buat kesalahan dan jangan biarkan ada kecacatan!" Kalimat itu yang Mahendra Subatra tanamkan pada Jofindra Subrata, Reananda Subrata dan Winata Subrata yang tak lain adalah anak-anaknya sendiri. Hingga tanpa s...