003

1.2K 195 21
                                    


■■
■■■
■■■■
■■■■■

Enjoy!

Enjoy!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



.

.

.

"Aaaaa... bosannn"

Ciselle berteriak sambil melempari bantal nya ke sudut kamar.
Menenggelamkan wajahnya pada bantal yang masih aman di atas ranjang.

Sudah setengah jam gadis itu mengeluh bosan, bahkan sampai guling-guling di ranjang yang menyebabkan beberapa kali ia jatuh dan di dengar oleh sang adik, yang berada tepat di sebelah kamar Ciselle.

"Oh!"

Ciselle bangkit dari ranjang dan berjalan menuju kursi dan mengambil kertas di atas meja, dan menulis sesuatu pada kertasnya.

Sudah sepekan sejak kami 'tiba' di sini, tapi liontin itu masih belum ketemu.
Bahkan pencarian yang dilakukan Sebastian pun belum menghasilkan petunjuk lebih.

Setelah digali lebih dalam, Sebastian mengatakan kalau di sini, London nya berbeda dengan tempat kelahiran ku dan Ciel.

Aku memang pernah baca beberapa buku cerita fiksi tentang lintas dimensi, tapi masa iya kami terjebak seperti cerita yang kubaca itu?

Dan seseorang– maksudku beberapa orang yang merencanakan pembunuhan yang dilakukan pria tua –Earl Britts– itu sudah pasti hasil otak seseorang yang sangat jenius.

Dan orang itu adalah—

Gadis itu melingkari nama yang tertulis,

— William James Moriarty



"Oke, selanjutnya mari kita jalan-jalan sambil menikmati suasana London yang baru ini!"

Ciselle berlari menuju kamar adiknya dan membuka pintu kamar dengan kasar.

"Ciellll"

Yang dipanggil hanya melirik sekilas karna sudah hafal dengan kelakuan sang kakaknya yang sangat tidak mencerminkan citra seorang bangsawan.

"Hm?"

Wajah Ciel langsung mengerut saat melihat kakaknya memasang wajah bahagia; yang sangat ia ketahui sedang merencanakan sesuatu yang merepotkan.

"Ayo keluar!"

Nah kan.

"Katakan alasan yang tepat untukku ikut keluar di cuaca yang panas begini"

"Karena itu lah! Cuaca yang terik begini cocok untuk jalan-jalan.
Lagipula sudah seharian kan kita tidak keluar, bahkan sejak hari itu kita tidak keluar rumah sekalipun"

"Nee-san mau kulit nee-san terbakar?"

"Nanti kan jadi bisa samaan dengan pangeran Soma!"

Mendengar nama yang disebut kakaknya membuat Ciel mengingat betapa mengesalkannya sikap sang pangeran padanya.

Beruntung tidak ada orang sepertinya di sini.

Sialnya, Ciel tidak tahu bahwa ada banyak masalah yang melebihi masalah pangeran Soma yang akan menghampiri dirinya, begitu juga kakaknya.


.

.

.


Nah di sinilah mereka berada.
Di sebuah kafe kecil di pinggiran kota.
Menikmati teh dengan beberapa kudapan manis di atas meja.

Ciel meminum teh earl grey miliknya, sementara Ciselle meneguk sedikit teh chamomile.

Meski kelakuan Ciselle itu memang sangat merepotkan karena terlalu aktif, tapi tidak banyak yang tahu bahwa sang gadis mengalami susah tidur yang menyerangnya setiap malam.

Jadi, atas rekomendasi Sebastian, Ciselle mulai mengonsumsi teh chamomile setiap malam sebelum tidur guna mengurangi gangguan susah tidurnya.

Hari yang mereka lalui bukanlah hari yang damai maupun tenang. Karena sebentar lagi badai masalah akan datang bertamu.

BRUK..

CLING..

"Huh?"

Kedua Phantomhive itu seketika menengok ke arah sumber suara.
Seseorang berjubah hitam dengan tudung yang terpasang menuju mereka.

Melempar pisau dengan darah mengucur tepat di atas meja mereka. Lalu berlari keluar pintu kafe.

Ciel langsung menatap arah asal orang itu berlari; tampak ada seseorang yang dalam keadaan berbaring dengan darah yang merembes ke lantai.

Dahinya mengernyit, menoleh kembali saat mendengar kakaknya memanggilnya.

"Hey Ciel, ini– pisau kan?"

Ciselle menyentuh pisau berdarah itu dan mengangkatnya guna menunjukkan pada sang adik.

Mata bungsu Phantomhive itu melebar dan seketika berlari pada sosok yang terbaring itu.

Ciselle ikut bangkit dan mengikuti adiknya berlari, masih dengan pisau itu yang di tangannya.

Saat sudah sampai, kedua Phantomhive itu menganga melihat orang— maksudnya mayat perempuan yang tergeletak dan bersimbah darah yang tak berhenti keluar dari tubuh.

Mengulurkan tangan guna menyentuh nadi orang tersebut; padahal sudah jelas mati.

Hm? Bau ini—

Tapi belum juga tersentuh, terdengar jeritan seorang pelayan kafe tempat mereka dan menatap horor pada sang mayat maupun kedua pelanggan kafe.

Pelayan itu menunjuk Ciselle dengan jari gemetar, "pembunuh!"

"Huh?" beo sulung Phantomhive.

Ciel menatap datar pada pelayan yang menunjuk kakaknya sambil berteriak 'pembunuh'.

Dan di saat itulah orang-orang mulai berkumpul, sampai polisi pun ikut masuk dan membawa kedua Phantomhive maupun Sebastian yang sejak tadi diam tak bicara di belakang.

Jangan lupakan seringainya yang tak pernah luntur.

Oho, ini benar-benar menarik.

.

.

.

.

.

.








>3

𝗰𝗿𝗶𝗺𝗲   [ ᴘʜᴀɴᴛᴏᴍʜɪᴠᴇ x ᴍᴏʀɪᴀʀᴛʏ ] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang