delapan

142 15 4
                                    

Selamat menikmati chapter baru ini. Semoga suka.

          A-Ling dan Jingyi menunduk. Bukan karena malu. Tapi karena ada dua tatapan sedingin es tertuju pada mereka, berasal dari Lan Wangji dan Lan Bichen. Huweee, sereem.
         "Lan Zhan, jangan menakuti mereka dong," Wei Wuxian menepuk lengan suaminya, "kamu juga, Chen-er. Ayo, ayo. Duduk semua".
          Wei Wuxian menggandeng lengan Lan Wangji menuju sofa panjang. Sizhui dan Jingyi segera pindah ke sofa tunggal. Bichen, Chenqing dan si kembar selonjoran di karpet.
          "Jadi? Besok mau naik bis atau kereta?" Wei Wuxian bertanya pada Sizhui.
          "Jadinya kereta reguler yang jam 7, mih," jawab Sizhui.
          "Ya udah, buruan pesan tiketnya. Ntar biar mimih yang telpon kakek atau paman A-Xing buat jemput kalian di stasiun," kata Wei Wuxian.
          "Uhmmm, Zhui ge mau pergi ya? Mau kemana sih?" tanya A-Ling kepo.
          "Iya," jawab Sizhui sabar, "ada perlu ke Yiling".
           "Ikut boleh tidak?" A-Ling bertanya dengan mata berbinar.
           "Heh! Ngapain ikut?!" sentak Jingyi, "enggak ada urusannya juga".
           "Ih. Aku tanya Zhui ge ya. Siapa yang tanya situ. Main jawab aja," ujar A-Ling ketus.
            "A-Yuan kan perginya sama aku, jadi aku juga berhak jawab dong," kata Jingyi.
           "Apa urusannya kamu ikut. Kalau kamu boleh ikut, aku juga boleh dong," A-Ling menoleh ke Sizhui, "ya, Zhui ge, A-Ling boleh ikut ya?" A-Ling memohon.
          "Yang punya urusan itu aku ya. A-Yuan itu cuma ngantar. Ngerti enggak?" Jingyi gedek sendiri. Aish. Lama-lama bisa stroke nih, mengahadapi nona muda manja satu ini.
          "Ya udah. Sono pergi sendiri, enggak usah ajak-ajak Zhui ge. Emang enggak berani berangkat sendiri," kata A-Ling.
           "Ya terserah A-Yuan. Kok situnya ngatur? Orang A-Yuan yang pengen ngantar. Emang situ siapa ngelarang-ngelarang A-Yuan?" tanya Jingyi sewot.
          "Situ juga siapa, bukan.....,".
          "Diam!" suara rendah nan dingin terdengar. A-Ling dan Jingyi kicep. Lan Wangji sudah jengah dengan adu mulut tidak penting itu. Dua bocah itu selalu membuat tangan Lan Wangji gatal ingin me-lakban mulut mereka.
          Wei Wuxian malah asik ngemil bareng si kembar dan Chenqing. Anggap saja lagi nonton sinetron ikan terbang. Sizhui memijit keningnya yang berdenyut. Sedang Bichen menutup kedua telinganya. Berisik sekali.
          "Udah ributnya?" tanya Wei Wuxian santai. "Mimih aja yang putusin. A-Ling boleh ikut tapi hanya sampai rumah kakek Wei. Sekalian biar kenal dengan sepupu kakek Jiang. Toh, A-Ling juga belum pernah ketemu lagi dengan kakek Wei. Terakhir ketemu kan A-Ling masih bayi. Jadi, A-Ling enggak boleh protes kalau A-Ling ditinggal di rumah. Karena memang A-Yi yang punya keperluan di sana. Urusannya penting dan A-Yuan harus ikut. A-Ling mengerti? Kalau A-Ling tidak setuju dengan syarat ini, A-Ling tidak usah ikut. Biar A-Yuan dan A-Yi berangkat berdua. Gimana? Setuju tidak?"
          A-Ling sebenarnya keberatan sih. Tapi mau tidak mau harus setuju. Daripada ditinggal di Jingshi. Pada bae sami mawon. Mending liburan di asrama.
         "Dan," tambah Wei Wuxian, "jangan berantem di kereta. Cuma beberapa jam perjalanan. Tahan mulut kalian. Memang kalian enggak malu apa, kalau misal ribut di kereta, terus direkam orang-orang disana, terus viral? Mau kalian kayak gitu?"
         A-Ling dan Jingyi menggeleng bersamaan. Ish. Jangan sampai deh. Bisa diledekin habis-habisan oleh paman Zixun dan paman Xuanyu.


         Sizhui menghembuskan nafas lega, sesaat setelah turun di stasiun Luanzang. Perjalanan menegangkan selama beberapa jam pun berakhir. A-Ling dan Jingyi menepati janji yang  mereka buat dengan Wei Wuxian. Mereka berdua enggak berantem di kereta. Jangankan adu mulut, saling ngomong saja enggak. Akibatnya, Sizhui yang jadi korban. Mesti jadi penengah. Ditarik sini sana. Dijadiin hedwig.
          A-Ling seumur hidup baru dua kali naik kereta. Pertama, saat berangkat ke Gusu dulu. Yang kedua, hari ini. Sehingga, A-Ling baru paham perbedaan kereta cepat dan reguler. Yang reguler berhenti di setiap stasiun. Pantas lama. Udah beda kecepatan. Masih tiap sekian kilometer berhenti.
          Sizhui celingak-celinguk mencari jemputannya. Semoga saja yang datang kakek atau paman A-Xing, bukan.....
          "A-Yuaaan. Brondongkuuuh," suara cetar menyapa dari kejauhan. Aiyo. Harapan Sizhui tidak terkabul. Yang datang malah neneknya.
          A-Ling melongo melihat kedatangan seorang nenek berpenampilan nyentrik. Nenek itu langsung menghambur, memeluk dan menciumi pipi Sizhui yang terlihat pasrah. Buseet. Nenek-nenek enggak ingat umur. Dandannya macam abg. A-Ling jadi ingan teman-teman arisan nenek Jin, yang sama masih suka dandan heboh. Meski, tetap saja sih. Terlihat tua.
          "A-Yiii, sini peluk jiejie," nenek itu ganti memeluk Jingyi dengan erat.
Jingyi hanya bisa meringis merasakan pelukan maut itu.
           "Ini anak A-Li dan merak pesolek itu ya," nenek itu mengalihkan perhatiannya pada A-Ling, "duuuh. Imut ya. Kalau A-Li, percaya deh bibitnya bagus. Siapa namamu sayang?"
          "Selamat siang nek. Nama saya Jin Ling," A-Ling memamerkan senyum imutnya yang tidak pernah gagal menawan hati emak-emak.
         "Utututu. Gemeeess," tangan si nenek melayang, menguyel pipi A-Ling. Dimainin macam squishy.
          "Tapi jangan panggil nenek dong," lanjut si nenek, "panggil saja jiejie atau Ren jie".
          "Uhmmm... ituuu," A-Ling ragu. Rasanya aneh untuk menyapa seseorang yang seumuran nenek dengan sebutan jiejie.
         "Enggak mampir-mampir kan? Langsung pulang kan?" tanya Cangse Sanren pada Sizhui, tidak mempedulikan dilema A-Ling.
         "Iya nek. Langsung ke rumah saja," jawab Sizhui.
         Cangse Sanren menggandeng A-Ling ke parkiran macam menggandeng balita. Biar enggak ilang di stasiun katanya. A-Ling pengen nolak, tapi sungkan.
         "Lho? Nenek tidak bawa sopir?" tanya Sizhui.
          "Buat apa? Nona Cangse ini masih segar bugar ya," jawab Cangse Sanren. "Nah, A-Ling duduk di depan ya imut. Biar A-Yuan dan A-Yi di belakang," Cangse Sanren mendorong A-Ling di kursi depan. Ugh. Nenek ish. A-Ling kan pengen di belakang dengan Zhui ge, batin A-Ling enggak rela.
         "Udah pasang sabuk pengaman semua?" Cangse Sanren memeriksa para penumpang, lalu menyeringai, "okee. Let's goooo!"
         Bruummmm.
         Kyaaaaaaa!! A-Ling merasa nyawanya tertinggal di stasiun. Nenek-nenek gila. Bawa mobilnya ngebut. Zigzag pulak. Mau nyaingi Schumacher ya? Ndandaaa. A-Ling belum mau matiiiii. A-Ling sampai menutup mukanya dengan telapak tangan. Takuut, huhuhu.
         Mereka sampai di rumah sakit swasta cukup besar di sekitar bukit Luanzang. Begitu mobil berhenti di halaman rumah sakit, A-Ling bergegas turun dan langsung mutah-mutah di bawah pohon.
         "Lho. Lho. Lho. A-Ling mabok?" Cangse Sanren kaget sendiri. Weh, anak sultan, masak naik mobil bisa mabok? Apa mobilnya kurang mahal ya, batin Cangse Sanren. -nyadar diri dong nek. Gara-gara sampeyan nyetirnya macem sopir sumber kencono dikejar setoran tuh-
          "A-Yuan, bawa A-Ling ke kamar sana. Ntar biar nenek suruh si A-Qing bikin teh rempah. A-Yi enggak pengen mutah kan?" Cangse Sanren menanyai Jingyi yang bersandar lemas di kursi belakang.
          Jingyi memang pucat tapi dia tidak mual. "Sudah terlatih, jie," jawab Jingyi dengan suara lemah.
         "Bagus itu. Cucu-mantuku memang harus kokoh tahan banting macam semen tigaroda," ujar Cangse Sanren.
          Sizhui membimbing A-Ling yang gemetaran menuju rumah kakek Wei. Tidak kuat berjalan hingga kamar, A-Ling langsung ambruk di sofa ruang tamu. Sizhui membiarkan A-Ling berbaring lalu ganti menuntun Jingyi menuju kamar yang disediakan untuk mereka. Lalu, Sizhui segera ke dapur. Bermaksud membuatkan teh rempah untuk Jingyi dan A-Ling.
         "Selamat siang, tuan muda," sambil nyengir ngeledek, Song Qing menyapa Sizhui yang memasuki dapur. Tangan Song Qing sibuk memotong-motong jahe.
          Sizhui menatap datar dan membalas, "selamat siang bibi," jawab Sizhui dengan nada sopan.
          Song Qing melotot. "Panggil bibi sekali lagi, kuslepet muka tampanmu itu pakai spatula," ancam Song Qing. Paling sebel kalau diingatkan, bahwa dia adalah seorang bibi dari lima keponakan dari Xian ge. Ada yang lebih tua umurnya pulak. Song Qing jadi sedikit memahami perasaan emaknya, yang sama-sama punya ponakan hampir seumuran.
          "Anda yang mulai memanggil saya dengan tuan muda," kata Sizhui santai, masih dengan nada sopan dan kalimat formal.
          "Kan memang kenyataan kalau anda adalah tuan muda Lan," ujar Song Qing.
          "Dan faktanya anda adalah bibi saya, nona Song Qing," Sizhui melempar senyum tipis melihat Song Qing kesal.
          "Haish. Ngedrama apaan sih. Geli aku dengar kalimat formalmu itu. Serasa berhadapan dengan tuan Qiren," Song Qing bergidik, "sini, bantuin bikin teh".
          Sizhui terkekeh. Segera mengeluarkan poci dan cangkir dari lemari lalu mencucinya. Kemudian, menyiapkan daun teh kering.
          "Jingyi belum terbiasa ya? Kok Ren jie masih menyuruhku membuat teh rempah," tanya Song Qing seraya mengaduk rebusan rempah.
          "A-Yi cuma pucet, tapi sudah tidak mabok. Ini buat A-Ling yang mutah-mutah sampai lemes," terang Sizhui.
          "Hah? A-Ling? Maksudnya baby Ling-ku?" tanya Song Qing terperanjat.
          "Bisa dijelaskan arti panggilan baby Ling itu?" Sizhui menatap Song Qing heran. Ini nyebut baby Ling murni karena A-Ling masih macam bayi kan? Bukan alasan yang lain kan?
          "Jangan mikir aneh-aneh. Baby Ling itu bayi semua anggota klub masak tau," jelas Song Qing.
           "Siapa yang mikir aneh, sih? Orang cuma nanya," kata Sizhui.
           "Aish. Lupakan. Tapi beneran baby Ling ikut?" kejar Sing Qing.
           "Iya. Dia pengen ikut. Diijinin oleh mimih. Katanya biar kenal dengan kakek sekalian," ujar Sizhui.
           "Hadudu. Gawat nih," kata Song Qing.
           "Gawat apanya?" Sizhui mengernyit.
            "Bang Xueyang masih liburan di rumah. Abang kan ngejar baby Ling," jawab Song Qing.
            "Paman serius atau main-main tuh?" tanya Sizhui.
            "Kayak enggak tau pamanmu itu. Ya main-main lah. Macam dulu godain Jingyi," cetus Song Qing.
          "Astaga. Paman itu tidak ada kapoknya ya. Kalau masih berulah juga, biar aku bicara dengan nenek buyut. Paman kan paling takut dengan nenek buyut," Sizhui menggelengkan kepala.
           "Nah, itu. Aku rencananya juga mau ngadu ke nenek kalau abang berani macem-macem sama baby Ling. Biar dikurung di gunung sekalian," kata Song Qing penuh dendam, "siniin pocinya".
           Song Qing menuang air rebusan rempah ke dalam dua poci yang telah berisi daun teh kering. Sizhui mengambil salah satu poci dan meletakannya di tray yang sudah ada dua cangkir.
           "Tolong urus A-Ling ya. Anaknya lagi tiduran di sofa depan tuh. Aku mau membawa yang ini ke Jingyi," Sizhui mengangkat tray dan mengulum senyum "terimakasih banyak bibi".
          Song Qing memutar bola matanya," siyap ndorooo".
          Sizhui terbahak. Song Qing menghela nafas. Duh. Punya ponakan setampan itu memang bikin deg-deg serr. Udah good looking, pinter, baik, care, calon pewaris klan. Kurang apa coba. Song Qing aja dulu sempat naksir Sizhui. Cewek mana yang enggak baper kalau diberi perhatian? Tapi, ternyata Sizhui itu tipe yang baik ke semua orang. Song Qing milih mundur lah. Daripada sakit gara-gara kegeeran. Lagian, hati Sizhui udah ada pemiliknya. Ya udah lah. Kejebak bibi-ponakan zone juga gak papa.





TeBeCe


Terimakasih untuk kalian yang sudah meluangkan waktu. Maaf kalau aneh. Semoga tidak terganggu dengan humor receh dan bahasa lokal yang terkadang nyelip. Sampai jumpa chapter depan.

Baby LingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang