02

210 55 5
                                    

Matahari kini menerangi seluruh kota Jakarta. Adena menggeliat sambil menutupi mukanya akibat terkena bayangan sinaran matahari lewat jendelanya ditutup rapat oleh tirai namun masih saja bisa menganggu.

Adena akhirnya terbangun dengan kesal ketika tirai dileraikan dan jendelanya dibuka menyebabkan rambutnya terasa sedikit panas.

Ia bangun dan mengubah posisi duduk, menatap sebal ke arah kakaknya tersenyum lebar; senang mengerjai adiknya satu ini.

"Menyebalkan," Adena berkata setengah berbisik sambil mengusap wajahnya.

"Hei, aku bisa dengar apa yang barusan kau katakan." Rara menatapnya tajam sambil melipat kedua tangannya di dada. "Bangun, turun dan sarapan dulu."

"Tak mau," kata Adena buru-buru bangkit dari ranjangnya. Ia mengambil handuk, "Aku mau jalan-jalan sekitar sini saja." Kata Adena masuk ke dalam kamar mandi.

Rara menghela. "Mahu sampai kapan kau mengabaikannya?" Kemudian ia berbalik, keluar dari kamar adiknya dan turun ke lantai bawah, menuju ke ruangan meja makan.

Adena yang berdiri di belakang pintu. Menunduk kepalanya mendengar suara kakaknya mengatakan itu. Aku cuma belum siap menemuinya.

Rara melihat ibunya sibuk menyiapkan sarapan pagi untuk anak-anaknya. Ia mendongak melihat anak perempuan pertamanya muncul menuruni anak tangga.

Ia mengulas senyum, "Adikmu sudah bangun?" Rara hanya bisa tersenyum. Merasa bersalah karena tak berhasil mengajak adiknya makan bersama.

"Dia akan segera turun, bukan? Setelah itu kita makan bersama."

Rara benci melihat ini. Melihat reaksi ibunya sangat bahagia mendengar Adena akan turun. Rara menatapnya, "Ibu, hentikanlah."

Menyapu coklat di atas roti terhenti. Ibunya menatap Rara kebingungan, tak lama bibirnya mengulas senyum semula dan memilih melanjutkan tugasnya sebagai ibu.

"Maksudmu, Nak?"

"Hentikan kebiasaan mu ibu. Adena mengabaikanmu." Ibunya menggeleng, mengambil roti dan menutupi roti telah disi kemudian memotongnya jadikannya segi tiga.

"Tidak akan mengabaikanku, percaya padaku." Rara hembus nafas kasar, menatap rotinya sudah disiapkan dan hanya menunggu adiknya turun saja.

"Ibu—" Rara tidak lanjutkan katanya setelah melihat ekspresi senang dari wanita yang telah sudah payah melahirkannya di dunia ini.

Sungguh, ibunya sangat senang melihat Adena muncul di belakang Rara. Rara sontak toleh pada adiknya kini duduk manis di sampingnya. Sejak kapan? Mengapa Rara tak menyadarinya.

Adena menatap roti itu akhirnya mengambil dan mengigit pelan. Rara bisa melihat perubahan mata Adena. Matanya sekarang layu.

Rara tahu alasannya tidak pernah makan sarapan pagi. Ia teringat mendiang ayahnya sering menyiapkan sarapan pagi untuknya sementara ibunya sibuk bekerja hingga lupa meluangkan waktu bersamanya.

Adena kehilangan sosok kehidupannya. Ia juga sudah kehilangan sosok selalu membuatnya tersenyum kini dirinya terselimuti rasa takut.

Takut semuanya akan terulang lagi. Terutama ibunya. Bukan, Adena tidak pernah menyalahkan ibunya atas kepergian ayahnya. Ia juga tak pernah menyalahkan ibunya melupakannya.

Tidak pernah sama sekali.

Sarapan pagi lebih sedikit tenang walau ada rasa canggungnya ketika Adena terus menjawab dengan beberapa perkataan ketika ibunya melontarkan pertanyaan.

...

Adena melihat kedua insan di dapur sibuk betul membasuh piring. Bukannya ia malas, hanya saja ia tidak mau orang yang ia paling sayang ditimpa malapetaka karenanya.

Adena Yumna • Sunghoon Yuna ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang