07

107 33 9
                                    

Akibat menonton video makanan dari layar teleponnya, perut Adena sudah berteriak untuk minta diisi. Adena malas bergerak, namun karena terlalu lapar akhirnya ia turun ke dapur untuk mencari makan.

Adena menuruni anak tangga. Dia melihat kakaknya, Rara berada di ruang tengah sedang menonton drama Korea. Sementara Raka keluar karena ingin bertemu teman-temannya.

Adena tak ingin menganggu kakaknya. Ia berjalan menuju ke dapur, membuka lemari satu persatu. Di dalamnya, kosong.

Adena kembali ke ruang tengah, menghampiri kakaknya dan duduk di sampingnya. "Bahan makanan di dapur sudah habis?"

Begitu Adena melontarkan pertanyaan, Rara membulatkan matanya. Ia menepuk dahinya, kemudian menyeringai dengan tampang bodohnya, "Aku lupa membelinya, hehe."

Adena memutar bola matanya. Tebakan ia benar, Kakaknya sulit disuruh-suruh membeli bahan makanan, atau ia membeli bahan lainnya. "Mana uangnya, biar aku saja yang beli."

Rara menunjuk uang di atas meja, tersenyum padanya. "Mohon dibantunya, adikku."

Adena berdecih sebelum mengambil uang di atas meja. Ia berjalan menuju ke pintu utama, tidak apa jalan kaki. Lagipula, tokonya sangat dekat di rumahnya.

Setelah memakai sandal dan penutup kepala dipakaikan, ia berjalan santai ke toko tersebut. Memerlukan lima belas menit untuk tiba di sana. Dan juga memerlukan waktu yang banyak karena di sana ramai sekali pelanggan.

Bahunya ditolak kasar. Adena meringis pelan sambil menoleh ke belakang. Manik matanya berubah menjadi menajam melihat siapa yang melanggarnya.

Ia teruskan langkahnya dan mengambil trofi, begitu juga laki-laki di belakangnya. Adena mengumpat sepanjang laki-laki itu mengikutinya. Selama ini, ia tak pernah mengumpat sepanjang ini jika laki-laki itu tak mengikutinya.

Adena menggerak matanya, mencari sesuatu untuk membalingkan ke arah laki-laki itu. Menemukan mainan anak bayi, ia segera ambil dan membaling ke muka laki-laki itu kemudian berlari sekuat tenaga.

Setidaknya bisa menghindari laki-laki itu, Adena melepaskan penutup kepalanya, kepalanya masih menengok ke belakang.

Kemudian, kepalanya hadap ke depan dan dahinya terlanggar bidang dada laki-laki tak diketahuinya.

Adena mendongak dan terkejut melihat laki-laki di depannya. "Yardan!" Adena menghela nafas lega, setidaknya bukan laki-laki tadi.

Satya menaikkan sebelah keningnya, "Kamu kenapa?" Satya bisa melihat raut cemas Adena dan melihat ke depan setelah itu menunduk melihat Adena.

"Diganggu?" Adena mengangguk.

"Mau aku temani? Aku lagi sama bunda," ujar Satya menarik pergelangan tangannya namun Adena segera menarik tangannya kemudian menyengir pelan.

"Bukan muhrim," jelas Adena membuat Satya terdiam. Satya mengusap tengkuknya, "Maaf."

"Tak apa-apa." Adena mencari seseorang, "Bunda kamu mana?" Satya ikut mencari ibunya, "Di bagian baju mungkin."

Adena mengangguk. "Bisa temani aku sebentar, kak?" Satya tersenyum, "Tentu saja bisa."

Adena mencari sesuatu, trofinya dilupakan. Lupakan, ia juga tak mahu bertemu dengan laki-laki itu tadi.

"Kamu mencari apa?" Tanya Satya melihat Adena kebingungan mencari sesuatu. Adena menggeleng, "Lupakan. Ayo, kita ke bagian daging aku ingin membeli beberapa daging."

"Kamu bisa memasak?" Tanya Satya lagi seiring berjalan berdampingan dengannya. Adena mengangguk, "Ya, aku bisa memasak. Kenapa?" Adena bertanya balik dan menatap Satya.

"Bukan apa-apa, cuma bertanya saja." Satya mengulas senyum lebarnya. Adena selalu menatapnya dengan reaksi bingung. Entah apa benar kata orang-orang bilang Satya itu bersikap dingin dan mengabaikan orang.

Tetapi Satya di depannya ini berbeda. Laki-laki itu selalu tersenyum dan banyak berbicara dengannya. Terkadang ia bertanya apa favoritnya atau lain-lainnya.

Adena berhenti saat tiba di bagian daging, ia melihat beberapa daging sebelum mengambil dengan benar. "Kamu terlihat berbeda dari omongan orang."

"Berbeda bagaimana menurutmu?"

Adena memiringkan tubuhnya menghadap ke Satya. Hulurkan jari telunjuknya ke sudut bibir Satya yang masih tersenyum.

"Selalu senyum lebar tapi omongan orang bilang kamu adalah laki-laki yang dingin." Satya melebarkan senyumannya.

"Kamu percaya aku atau omongan orang lain?" Tanya Satya lembut. Adena mengedikkan bahunya, "Aku tak pasti yang mana satu benar. Tapi jika dipikir kembali, kamu berubah saat bersama orang lain, tetapi denganku kamu lebih sering tersenyum."

Detak jantung Satya saat ini berdebar-debar. Apakah Adena akan menyadari perasaannya. Adena menyipitkan matanya, memandang wajah Satya penuh curiga.

"Satya.."

Adena mengalihkan pandangannya dari Satya ke wanita kini datang mendekat. Ia tersenyum ramah memandang wanita tua itu.

Ibu Satya tersenyum, memandang wajah Adena layaknya seperti boneka hidup. "Temannya Satya ya?"

Adena mengangguk dan tersenyum, "Ya, Tante. Saya Adena Yumna, panggil saja Adena." Adena menjabat tangan dan mencium punggung tangan ibu Satya.

"Astaga, apa Satya merepotkanmu?" Tanya ibu Satya dan tentunya Satya tak menerima kalimat ibunya sendiri.

Adena tersenyum, kepalanya menggeleng pelan. "Tidak pernah, Tante. Adena saja selalu merepotkan Kak Yardan."

Mendengar nama putranya disebut, Ibu Satya menoleh melihat reaksi anaknya. Namun yang ia lihat adalah Satya tersenyum sambil memandang Adena.

"Panggil Bunda saja," kata Ibu Satya tersenyum manis. Adena sedikit gugup memanggil sebutan bunda. Ia belum pernah memanggil ibunya sendiri dengan sebutan bunda apalagi ibu Satya.

"Ya, b-bunda." Adena mengulas senyum gugup. Satya terkekeh gemas mendengar suaranya bergetar. Adena meliriknya tajam.

"Ibu pergi dulu, ya. Satya tolong jaga Adena." Ibu Satya pergi meninggalkan mereka. Adena menghela nafas lega, setidaknya ia tak lagi merasa gugup.

Satya masih dalam tawanya. Adena mengambil daging itu guna memukul Satya, "Ketawalah sepuasnya!"

Adena mengerucutkan bibirnya sambil hentakan kakinya juga ikut pergi tinggalkan pemuda masih sama seperti tadi.

Kemudian Satya menyusul Adena. Dari jauh, Ibu Satya dan Mina, kakak Satya melihat senyuman lebar Satya menggoda Adena di sana.

"Mereka berdua kelihatan sosok dibandingkan dengan Wulan." Ujar Ibu Satya melihat Adena yang memasang muka kusamnya.

Mina bersenandung setuju, melihat Satya tak pernah senyum selebar begitu. Apalagi pandangannya jatuh pada Adena tersenyum lebar mengingatkan seseorang.

Mina mengerutkan kening sejenak. Ia belum pernah melihat Adena. Tetapi entah kenapa wajahnya sangat mirip dengan laki-laki di kelasnya.

"Apa bunda gantikan saja Adena sebagai calon menantu bunda?" Ibu Satya bertanya pada Mina tetapi anak sulungnya bengong di tempatnya.

"Mina? Kamu kenapa?" Ibu Satya menggoyang sebelah bahunya. Lamunan Mina buyar seketika kemudian menatap Satya dengan raut sulit terbaca.

"Bunda bilang mau gantikan Adena sebagai calon menantu bunda, 'kan?" Ibu Satya mengangguk sebagai jawabannya.

Mina menoleh dengan pandangan sayu, "Sepertinya kita tak bisa menerimanya sebagai calon menantu, Bunda."

"Kenapa?"

Mina membuang nafasnya pelan, memandang Satya dan Adena tertawa bersama di ujung sana.

Ibunya menunggu penjelasan dari anak sulungnya kini memasang ekspresi sayunya. Kemudian ia membasahi bibirnya sebelum mengatakan hal sebenarnya.

Dan itu berhasil membuat ibunya terdiam seribu bahasa.

"Karena Adena itu bukan muslim, bunda. Mereka tak bisa disatukan."


Tertanda,
22/12/21 ★ Theorz.

Adena Yumna • Sunghoon Yuna ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang