Adena mengunci dirinya di kamar mandi, ia tak bisa percaya apa yang dikatakan oleh dokter. Dirinya memiliki kanker otak tahap ketiga.
Selama ini yang ia rasakan..ternyata ia benar-benar memiliki penyakit.
Adena mengusap wajahnya kasar, menggelamkan wajahnya di lengannya sambil menangis mengkhawatirkan keluarganya.
"Adena! Buka pintunya! " Terdengar suara Raka di sana. Adena menggeleng kuat, menutup telinganya erat.
"Adena! Kau baik-baik saja?!" Sungguh, Adena tak mahu mendengar suara mereka. Itu akan menbuatnya berpikir bagaimana jika ia tiada, apakah mereka menjalani hidup mereka dengan penuh rasa bersalah?
Adena menggeleng, ia benar-benar tidak mahu itu terjadi. Ia benci, benci dirinya benar memalukan.
Sesulit itukah mengatakan hal sebenarnya. Adena membutuhkan Kamal sekarang ini, sungguh.
Ia bisa gila tanpa Kamal di sampingnya. Ia merogoh saku celananya, menekan nomor Kamal dengan gemetar.
"Helo—" Belum sempat Kamal menyapa, ia sudah mendengar tangisan Adena. Kamal tentu panik, "Kamu di mana? Kamu tak apa-apa, 'kan? "
Adena masih belum bisa menjawabnya. Kamal terus bertanya dengan nada panik, "Ayolah, Adena.. Tenangkan dirimu, ya. Sekarang ayo bicara pelan. Kamu di mana? Mau aku ke sana? "
"K-kamal..aku di rumah.."
"Kamu di rumah? Ya, sebentar aku ke sana. Jangan melakukan hal yang bukan-bukan. Ingat, ada banyak di sekitarmu masih menyayangimu. Ingat ibumu, Rara dan Raka."
Adena menutup mulutnya, makin menangis. Hingga di luar mereka semuanya semakin panik. Mereka tak bisa mengobrak pintu, Adena berada di belakang pintu.
Kamal segera tiba dengan nafas tak teratur, ia menaik tangga dengan langkah cepat dan menuju ke kamar Adena.
Rara menoleh melihat Kamal tiba-tiba datang. Kamal mendekat mengabaikannya, mengetuk pelan pintu kamar mandi Adena.
"Na..ini aku, Kamal-mu." Kamal tahu Adena kecewa melihat dirinya benar-benar hancur. Laki-laki itu menoleh dan menatap satu persatu keluarga Adena.
"Maaf, bisa tinggalkan kami berdua? Aku janji tak akan apa-apa pada Adena. Sungguh." Raka menggeleng tetapi Rara lekas menariknya keluar disusuli ibu mereka.
"Tolong jaga Adena, ya."
"Ya, Tante."
...
Raka dan Rara masuk ke kamar Adena yang terlelap di dekapan Kamal juga tertidur sambil memeluk Adena.
Mereka bisa melihat luka di tangan Adena sudah diperban. Hati mereka seakan tersobek melihat Adena melukai dirinya.
Jika bukan Kamal datang untuk menenangkannya, mungkin mereka tak bisa melihat Adena lagi.
Kamal merasa terganggu membuka matanya pelan. Melihat Raka dan Rara di depannya segera lepaskan tangannya dari Adena.
Ia bangkit perlahan tanpa mengeluarkan suara dan menyelimutinya. Ingin pamit pulang tetapi Raka menahannya.
Tatapannya seakan memberi tatapan seperti ingin berbicara dengannya. Kamal mengerti akhirnya mengangguk.
Setelah kedua menjauh dari kamar Adena. Mereka di halaman belakang rumah, Kamal menyimpan tangannya di belakang. Menunggu Raka bertanya padanya.
"Sejak kapan kalian berjalin hubungan?" Tanya Raka secara basa-basi.
"Lebih kurang 4 tahun, kami saling mengenal." Raka membulatkan matanya mendengar ucapan Kamal. Empat tahun? Gila, waktu itu Yuna masih muda.
"Lupakan soal itu, dan terima kasih menenangkannya. Aku sungguh tidak tahu berbuat apa-apa selain mengharapkanmu tadi."
Kamal mengangguk kepala. Meskipun mereka tak menjalin hubungan seperti dulu. Setidaknya Kamal bisa berada di sisinya setiap saat gadis itu membutuhkannya.
"Kau bisa percaya padaku. Aku akan menjaganya seperti adikku sendiri." Kamal menghela nafas, "Aku ingin minta maaf telah menyakitinya. Aku benar-benar bodoh soal percintaan ini. Sekali lagi maafkan aku."
"Sudah berlalu, apa yang aku lakukan?" Raka memutar balik, menepuk sebelah bahu Kamal. "Cuma tolong jangan melakukan hal yang sama pada gadis itu. Cukup satu wanita kau sakiti, jangan gadis lainnya."
"Adena jangan gila!?"
Kamal dan Raka saling tatap. Kemudian berlari bagaikan kesetanan naik tangga menuju ke kamar Adena terbuka luas. Sementara Rara dan ibunya melangkah mundur.
"Kak.." Rara menoleh tatkala melihat Raka dan Kamal tiba. "Adena.." Raka berjalan dekat, melihat tangan Adena bergelumuran darah dengan pecahan kaca di tangannya.
"Kumohon..jangan mendekat!" Raka ikut mundur selangkah. Ia takut Adena menekan lebih dalam hingga gadis itu teriak kesakitan.
Kamal menatapnya, "Yumna.." Adena menoleh terasa dipanggil. Adena menggeleng kuat, "B-berhenti! Aku bilang henti!"
Kamal berjalan mengabaikan teriakan Adena. Ia perlahan mendekat dan menarik Adena ke dekapannya. "Semuanya baik-baik saja.."
Gadis itu meronta-ronta. Memukul bidang dada Kamal dengan berkali-kali, "S-sakit, Kamal. Sakit." Kamal mengelus kepalanya.
Sungguh, ia merasakan kepalanya terasa berat dan dihanyutkan begitu kuat hingga Adena tak sanggup lagi dan ingin mengakhiri hidupnya jika bukan Kamal menenangkannya.
...
Sudah hampir enam bulan berlalu, hubungan mereka berbaik. Satya maupun Daffa kini dijarakkan oleh Adena.
Gadis itu lebih sering diamkan dirinya dan melamun sepanjang ia berada di sekolah. Ia bahkan tidak fokus hingga guru-guru terasa heran dengannya.
Kamal juga sering datang ke kelasnya, memastikan gadis itu baik-baik saja hingga Raydan tak terima melihat mereka berbaikan.
"Sudah makan?" Tanya Kamal lembut sambil mengelus kepalanya. Adena mengangguk, menggelamkan wajahnya di bidang dada Kamal.
Kamal yang peka itu segera memijat kepalanya. Adena memejamkan matanya, tangannya memeluk pinggang Kamal sambil meremas ujung bajunya.
"Adena.."
Kamal ditarik dari belakang. Hingga Satya memukul wajahnya, Adena masih memejamkan matanya. Kepalanya terasa sakit hingga ia tak bisa mengangkat kepalanya.
"Kau berani sekali berbaikan dengan Adena setelah kau menyakitkannya berkali-kali! Apa belum puas melihatnya begitu! Apa lagi caramu menyakitinya!"
Kamal menyentuh bibirnya terkupas. Menatap Satya dengan pandangan benci. "Bukan urusanmu—"
Satya mencengkram kerah bajunya, "Sialan! Kau benar-benar berengsek!" Sekali lagi, Satya melayangkan pukulan di wajahnya tepat di mata Adena.
"Yardan, cukup!"
Adena susah payah menenangkan dirinya, ia tak sanggup melihat mantan kekasihnya dipukul oleh Satya dihantui oleh perasaan marah.
"Kita bicara di luar saja." Adena berjalan dahulu sebelum Satya. Kamal berdiri, "Na, baik-baik saja, 'kan?"
Adena tak merespon. Gadis itu kembali berjalan disusul oleh Satya. Setelah tiba di tempat sesuai untuk mereka berbicara. Adena memutar tubuhnya.
"Aku menolakmu bukan berarti aku ingin berbaikan dengannya, kau salah."
"Lalu apa, selama enam bulan ini, kamu selalu bersamanya. Dia selalu berada di sampingmu membuatku semakin rasa cemburu melihatmu bersama laki-laki lain."
Satya menatapnya sayu, sama seperti tatapan Adena sekarang. Gadis itu menghela nafas panjang. Membuka gelangnya kemudian menarik tangan Satya.
"Terimalah, anggap saja..itu hari terakhir kita." Mata Satya bergetar, "M-maksudmu apa?"
Adena mendekat wajahnya, menarik kepala Satya dan meletakkan jari telunjuknya kemudian mengecup jarinya sendiri.
"Terima kasih."
Dan benar, itu kali terakhir Satya melihat Adena dengan senyuman manisnya.
—
Tertanda,
24/12/21 ★ Theorz.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adena Yumna • Sunghoon Yuna ✔️
FanfictionAdena tidak menyangka Satya Yardan yang merupakan ketua oasis menyukainya dan Daffa Alwin juga menyukainya. - ADENA YUMNA Karya Theonives © 2021