06

104 32 7
                                    

Adena senang sekaligus kesal bersamaan. Pertama, dia senang melihat kakak laki-laki pulang dari luar kota. Kedua, dia kesal mendengar ocehan darinya.

Adena langsung menceritakan segalanya dari pertama ia bertemu dengan Kamal hingga putus. Kakaknya cuma menggeleng sekaligus mengomel karena ia telah merahasiakannya dari ibu dan Rara.

"Aku cuma tak mau mereka menggodaku!" Adena mengerucutkan bibirnya. "Tapi kami juga sudah putus. Untuk apa menceritakan tentang mantanku kepada mereka."

Raka tergelak. Dia menjatuhkan tubuhnya di ranjang menarik Adena ke dalam dekapannya sambil memejamkan matanya. "Abang rindu adik kesayangan Raka."

Adena mengerucutkan bibirnya, "Abang akan kembali ke sana lagi. Bagaimanapun Abang sibuk betul dengan pekerjaanmu. Jikapun Adena tiba-tiba merindukan Abang, seperti apa jadinya?"

Raka tergelak mendengar pertanyaan polos itu. "Apa gunanya telefon?" Adena sambil menyeringai malu, dia membenamkan wajahnya di keruk lehernya.

Raka menyunggingkan senyum manis melihat adiknya malu, ia membelai rambutnya kemudian mereka tidur sambil berpelukan.

Rara mengetuk pintu kamar Raka berkali-kali tetapi tidak ada jawaban di dalam sampai dia membuka pintu dengan kasar dan menemukan kakak-beradik itu tidur dalam pelukan satu sama lain.

Rara mengulas senyum bangga, melihat ekspresi Adena benar-benar tenang kali ini membiarkan begitu saja.

Sebelum Raka kembali, ia selalu melihat ekspresi kosong dari Adena setelah kepergian ayah mereka.

Besoknya, ia mulai menjaga jarak dari mereka kecuali Raka. Adena lebih tertarik berbicara dengan mendiang ayahnya dan Raka. Karena mereka membahas tentang hal olahraga hingga Rara tidak mengerti begitu juga dengan ibunya.

Ibunya mendongak melihat anak keduanya turun. "Adena dan Raka di mana?" Tanya Ibunya sambil meletakkan mangkuk sup di meja.

"Masih tidur, Ma." Jawab Rara mengambil sendok nasi dan mengambil beberapa nasi untuk dituangkan ke piringnya.

"Sekarang waktu makan malam. Atau biar mama—" Rara menghalanginya. Ia takut suasana hati Adena mendadak berubah melihat ibunya membangunnya.

"Ma, biar aku saja ya? Aku naik ke atas dulu!" Rara lekas berlari menaiki anak tangga sebelum membuka pintu kamar Raka dengan kasar.

"Hei!" Rara menepuk-nepuk pantat Adena kini menggeliat malah mengeratkan pelukannya. Rara menyunggingkan senyuman jahatnya.

Tangannya sudah berada di udara kemudian mendarat ke pantat Adena hingga mengeluarkan bunyi cukup memenuhi ruang kamar Raka.

"Kakak!" Adena meringis sambil mengusap pantatnya. Melihat Rara tersenyum puas, ia mengubah posisinya duduk. "Sakit.."

Kening Adena bertautan sayu dan menandakan bahwa itu benar-benar sakit baginya. Rara merutuki dirinya yang lupa jika Adena memiliki kulit sensitif.

"Sst!" Ia memeluk kepala Adena, Adena mengosok wajahnya ke perut Rara. "Sst, tenanglah. Maafkan aku, aku menyesali perbuatanku. Jangan menangis ya?"

Raka menggeliat melihat pemandangan itu. Kini ia dengan posisi duduknya memerhatikan Adena yang menggelamkan wajahnya ke perut Rara.

"Apa terjadi?" Tanya Raka membuat Rara gelagapan. Ia tersenyum kaku, "bukan apa-apa. Cuma aku rindu memeluknya saja."

Bohong. Rara memang mahir berbohong. Sedangkan Adena sebaliknya. Adena orangnya jujur dan terus terang tanpa berpikir dan hanya langsung menjawab.

"Kenapa, Nana?" Tanya Raka menarik sebelah bahunya dan melihat mata Adena memerah dann juga hidungnya.

"Pantatku dipukul kak Rara." Rara langsung tersenyum tanpa dosanya saat Raka menatapnya tajam.

Adena Yumna • Sunghoon Yuna ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang