2. Bukan Benalu

123 15 2
                                    

Sudah lebih dari enam belas tahun Nadhif dan Graha berteman dekat, dan Nadhif cukup tahu kehidupan pria itu. Mulai dari tempat tanggal lahir, hobi Graha bermain futsal di lapangan dekat perumahan, kesukaannya dengan sate sapi dicampur lontong sayur, dan keluarganya. Jadi seharusnya menerima lamaran Graha adalah hal ter- easy yang bisa dirinya lakukan. Tapi ya itu masalahnya. Dengan segenap jiwa dan raga, Nadhif memang mengakui jika Ardhana Graha Bagatra adalah pria baik. Tapi pernikahan bukan prioritasnya saat ini. Kehidupan di kota tidak sekeras di desa, perempuan 25 tahun dan belum menikah bukan masalah untuk orang kota. Apalagi mereka tinggal di perumahan.

"Nad dengerin ya. Gue cakep, dan ketampanan gue udah terverifikasi di manapun. Kerjaan tetap ada, usaha sampingan juga ada, kalau lo ngerasa kurang sama gaji gue. Gue udah beli rumah juga, nggak jauh dari sini, lo tahu juga rumahnya. Track record gue dalam hubungan juga baik-baik aja. Restu, gue udah dapet, " jelas Graha panjang.

Tarik nafas. Buang. Nadhif tidak habis fikir kenapa Graha bisa se- pede itu. Tapi memang sih.

"Gue kurang apa sih, Nad? "

"Lo? Kurang waras, Gra. Otak lo kurang se-ons! " kesal Nadhif.

Entah harus berapa kali lagi Nadhif memberi tahu Graha, jika dirinya tidak mau menikah. Menikah bukan hal gampang, hidup berdua satu rumah, satu kamar, satu ranjang, it's enough. Nadhif bergidik ngeri membayangkannya.

"Intinya gue ngga mau nikah sama lo. Titik! "

Graha tersenyum smirk. "Jujur gue ngga mau bahas ini, karena gue pengennya lo nikah sama gue dengan sukarela. But, kayaknya gue harus deh ngomongin ini, "

Nadhif menyerit. Apalagi yang mau pria di depannya ini katakan.

"Kalau lo nikah sama gue, lo nggak perlu ikut nyokap lo ke Australia kan?! "

"HAH! " jujur Nadhif kaget, mulutnya menganga tidak percaya, bagaimana Graha bisa tahu?!

"Tega lo ngga kasih tahu gue kalau mau ke Australia, "

"Ibu yang ngasih tahu? " tanya Nadhif to the point.

Astaga. Sebenarnya Nadhif tidak bermaksud menyembunyikan ini dari Graha. Hanya saja dirinya belum cerita dan Graha juga tidak tanya. Lagipula dirinya sudah menolak keinginan ibunya untuk hijrah ke Australia, tempat keluarga ibunya menetap. Tepatnya di negara asal William- ayah tirinya. "Wait, tapi nggak mungkin kan ibu kasih tahu lo gitu aja? "

Meletakan kotak Tumanware berisi puding coklat tiga lapis buatan mamanya di meja makan. Graha lalu menarik dua meja kayu di sampingnya, memberi isyarat gadis di depannya untuk duduk. Karena sejak tadi mereka adu urat sambil bersiri di dekat ruang makan. "Duduk, Nad. Mari selow! "

Nadhif mendesah kesal, namun tetap mengikuti perintah Graha untuk duduk. Kini mereka duduk berhadapan. Bahkan dalam posisi duduk pun tubuh Nadhif masih terlihat kecil, padahal tinggi badan gadis itu sudah masuk rata-rata tinggi badan perempuan pada umumnya.

"Jadi... " ucap Graha sengaja mengulur perkataanya.

"Cepet ceritanya, oh my God, " gadis itu makin naik pitam.

Bukannya lekas melanjutkan perkataannya. Graha malah menatap lekat gadis 25 tahun berambut curly hitam lebat itu. Gadis kecil berbaju Princess yang sembunyi malu-malu di belakang ibunya saat bertemu dengannya dulu, sekarang sudah besar. Enam belas tahun bukan waktu yang singkat, dan entah kenapa Ilyasara Nadhif Lakshita, gadis asli Jogja ini tumbuh menjadi calon istri idamannya.

Benar kata orang, persahabatan antara pria dan wanita tidak akan pernah murni sebagai hubungan pertemanan saja, salah satunya harus mengalah untuk merasakan perasaan yang berbeda. Dan sejak 11 tahun lalu, Graha sudah merasakannya.

Intaian RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang