Selamat membaca...
***
Bagaimana perasaan kalian, tentang nama yang telah diberikan oleh kedua orang tua kalian? Senang? Tentu saja, bukan. Tetapi berbeda denganku, aku tidak dapat merasakan kesenangan itu. Karena aku, namaku dan juga kehadiran ku... hanya membawa malapetaka bagi siapa pun yang mengenalku, begitulah yang aku dengar dari mulut orang lain.
Tidak hanya di masa lalu, sekarang, mau pun masa depan. Kehadiranku sama sekali tidak diharapkan, selalu dianggap jimat terkutuk oleh otak tak berkemanusiaan mereka yang tak menyukai kehadiranku. Seakan aku adalah bentuk kesialan nyata yang dapat menyerang orang tak berdosa. Aku benci akan semua ini, tapi inilah takdir yang ku jalani semasa hidupku. Mungkin baru akan berakhir ketika ajal menjemputku nanti. Oh... aku sangat menantikan kapan itu akan terjadi.
Aku Ovianna.
Singkat, jelas dan padat. Hanya satu kata yang terdengar indah, nama yang tidak pernah ku ketahui siapa yang memberikannya.
Tanpa label dari keluarga mana aku berasal, sangat terasing yang bahkan orang sekitar mungkin tidak tau jika aku ada. Aku tidak memiliki marga yang mengklaim dari pihak mana aku berpijak, tidak ada yang ingin mengakui ku dari diantara salah satu pihak orang tua ku. Karena mereka masih menganggap dirikulah penyebab kejadian memilukan itu, hari di mana semua orang berduka akan kehilangan sosok berharga bagi nereka. Tanpa melihat dan berpikir seperti apa dan bagaimana kondisi ku dahulu.
Mereka itu bodoh.
Dungu.
Dan naif.
Yang sialnya aku tidak dapat membenci mereka akan semua ketidak adilan yang kuterima dari perilaku menjijikan mereka, benar-benar tidak adil.
"Anak nggak tau diri! Sudah hidup menumpang bagai parasit, menyusahkan orang pula." Aku menghentikan langkahku dan melihat pada sosok yang tengah bersantai bersama Vio, si gadis kasar.
Sindiran dengan raut tanpa beban itu berasal dari Pamanku, adik dari mendiang Mamaku. Usianya hanya berjarak 5 tahun dari Saka, diantara yang lainnya lelaki itu yang selalu saja terang-terang mengutukku.
"Lain kali, jangan dijemput sekalian biar tahu rasa."
"Dengar nggak Mang Dadang?!"
"I-iya, Tuan."
Mang Dadang selaku supir pribadi yang biasa mengantar jemputku hanya menurut demi menghindari masalah dengan kepala keluarga ini, entah sejak kapan Papa berada di sini dan ikut menghakimiku. Sedangkan Mang Dadang Pria paruh baya itu menatapku dengan iba, tapi aku sama sekali tidak merasa terancam atas sikap mareka karena sudah terbiasa dengan situasi seperti ini.
"Mulai besok jangan diantar jemput lagi, biar dia berangkat dan pulang sendiri." lanjut sang Papa sembari berlalu menuju kamarnya.
Merasa tidak ada lagi yang harus aku dengarkan, aku memutuskan kembali melanjutkan langkahku menuju kamar. Dapat ku lihat di depan sana Vio mengatakan sesuatu yang menyebalkan tanpa mengeluarkan bersuara. Meskipun begitu, aku dapat mengetahui apa yang ia katakan... mampus, itulah yang ia katakan dengan raut puasnya. Sepertinya gadis itu dalang dari semua ini. Tanpa memberikan reaksi berarti, aku lebih memilih untuk mengabaikannya.
Kakiku terus melangkah menuju area belakang rumah yang dekat dengan kebun apel. Di sana, tepat di dekat ujung kebun sebuah gudang lama yang ku sulap menjadi tempat tinggalku sudah mulai terkihat. Letaknya yang tertutup jejeran rimbun pohon apel membuat tempat itu sulit terlihat. Saking tak inginnya mereka melihat keberadaanku, aku ditempatkan jauh sendirian di sini. Ditemani kesunyian alam ciptaan yang disusun sedemikan cantik oleh mendiang Mamaku, membuatku sedikit banyak merasakan kehadirannya lewat suburnya kebun yang di tanam oleh tangan wanita yang melahirkanku itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
OVIANNA
General FictionSungguh memuakkan. Kalian semua adalah manusia yang sangat memuakkan. "Jika sudah seperti ini... bukankah lebih baik mengabulkan keinginan mereka? Hadiah dari orang yang sedang berulang tahun, heh?" Berdiri dari duduknya, Via menatap ujung jalan y...