Selamat membaca...
*
—Bab 7: Menyerah? —
*"Kamu nggak rindu Papa, Nak?"
Rindu? Perlukah? Entahlah, tidak ada rasa apa pun yang tertinggal. Setelah memutuskan untuk melakukan hal gila, ia sudah membuang seluruh rasa yang ia punya untuk setiap orang yang ia kasihi sebelumnya.
"Kak Saka bagimana? Enggak rindu juga?" tanya wanita itu lagi setelah beberapa saat keduanya kembali saling terdiam. Gadis yang merebahkan kepala di pangkuannya hanya menggerakan kepala, menggeleng menanggapi pertanyaannya.
"Mau sampai kapan kamu di sini?"
Kali ini bukan subuah gelengan melainkan seulas senyum tipis gadis itu berikan teruntuk wanita yang tengah menatapnya galak, bukannya tampak menakutkan wanita tersebut justru semakin terlihan cantik. Pantas saja si tua bangka tukang marah itu tidak bisa move on hingga saat ini.
"Tapi ini bukan tempat kamu, sayang. Belum waktunya," Ia menatap gelisah sang putri yang seakan tuli akan perkatannya. "mereka pasti mengkhawatir kamu—"
"Ini yang mereka mau, Ma. Via hanya mengabulkan keinginan mereka." Senyum di wajahnya tak kian surut, namun matanya memancar sendu. "Via sudah lelah, ingin istirahan bersama Mama."
Gadis itu kembali mengingat segala perlakuan yang telah ia terima sebelumnya, ia memantapkan niatnya untuk tetap berada di tempat ini. Rasa sakit dari penderitaannya tidak akan pernah hilang meski ia telah pergi sejauh ini meninggalkan mereka semua. Penyiksaan itu membuat kewarasannya hilang, sudah tidak tersisa setitik kesabaran pun di hatinya. Mentalnya hancur, fisiknya terluka di sana-sini. Kini, sudah waktunya ia mengakhiri kesenangan mereka, ia sudah tidak sanggup lagi. Tujuhbelas tahun adalah waktu yang cukup banyak bagi mereka menikmati kesenangan di atas penderitaannya.
"Mama juga melihat apa yang telah mereka perbuat terhadap Via, kan?" Matanya menatap lurus, pikirannya melalang buana entah kemana. "apa Mama tega membiarkan mereka menyakiti Via lebih lama lagi?" Tangannya terus memberi isyarat tanpa suara.
"Via sudah lelah, Ma. Via juga butuh istirahat. Sudah lama Via tidak tidur dengan nyenyak, boleh Via tidur saja bersama Mama?"
Air mata wanita itu lantas luruh, ia bisa merasakan apa yang telah diderita anak perempuannya. Benar, ia telah menyaksikan segalanya. Penyiksaan itu, suara tangis hingga permohonan untuk berhenti menyakitinya. Gadis kecilnya telah tumbuh di atas lautan duri, terluka adalah makanan sehari-harinya. Namun ia juga tidak bisa merubah apa pun, bukan ranahnya untuk memutuskan nasib gadis manisnya. Ia tidak punya kemampuan sebesar itu untuk melawan kehendak Tuhan.
"Mama minta maaf, jika saja Mama bisa bertahan lebih lama lagi mungkin nasibmu tidak semalang ini." Pecah sudah tangisnya. Raut polos sang anak membuat sebagian besar dari hatinya remuk. Anak yang sudah ia perjuangkan untuk dilahirkan hingga merenggut nyawanya malah diperlakukan lebih rendah dari binatang. Jika itu orang lain maka ia tak akan heran meski itu bukanlah hal yang pantas untuk dimaklumi. Melihat sang belahan jiwa dan keluarganya juga sama berperilaku tidak pantas terhadap darah dagingnya membuat jiwa iblis mulai bangkit dari sudut jiwanya.
Dengan menekan sesak di dada, Aiko mencoba tenang untuk melanjutkan perkataannya. "Sebentar lagi, tolong bertahan sedikit lagi. Mama mohon... "
Deg!
Via tersentak dengan memegang dadanya, melihat itu Aiko tersenyum mengerti. Sudah waktunya ternyata. Dengan perlahan Aiko menegakkan Via yang masih memegang dada kirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
OVIANNA
General FictionSungguh memuakkan. Kalian semua adalah manusia yang sangat memuakkan. "Jika sudah seperti ini... bukankah lebih baik mengabulkan keinginan mereka? Hadiah dari orang yang sedang berulang tahun, heh?" Berdiri dari duduknya, Via menatap ujung jalan y...